Dec 27, 2006

Confessions of a Therapist

‘Nggak mau. Bahaya,’ kata Kay ketika Pak Ito memintanya melompat dari balok ke matras.

Pak Ito pun naik ke atas balok dan melompat. ‘Lihat,’ katanya, ‘Pak Ito nggak apa-apa. Nggak luka. Nggak berdarah. Berarti nggak bahaya kan?’

‘Iya,’ jawab Kay sambil senyum. Ia lalu tidak menolak untuk meloncat, meskipun masih takut dan dibantu dalam meloncat dari balok itu.

Di lain waktu Kay mogok melakukan perintah Pak Ito dan saat diminta dengan agak keras untuk menurut ia menangis. Seperti biasanya ketika menangis, Kay berteriak keras. Pak Ito membiarkan Kay menangis dan berkata, ‘Ya udah, kalau begitu hari ini nggak belajar.’

Lalu Pak Ito melakukan kegiatan lain yang ia tahu akan menarik perhatian Kay. Tak berapa lama kemudian tangisan Kay berhenti. Ia memperhatikan Pak Ito.

‘Pak Ito,’ kata Kay. Pak Ito masih diam.

‘Pak Ito,’ kata Kay lagi.

‘Apa?’ tanya Pak Ito.

‘Belajal,’ jawab Kay.

‘Nggak,’ kata Pak Ito, masih berpura-pura ngambek, ‘hari ini nggak usah belajar.’

Kay memukul lantai dengan marah. Pak Ito masih diam, mengacuhkan Kay.

Kay mendekat, memeluk Pak Ito.

‘Mau belajar?’ tanya Pak Ito.

‘Mau,’ jawab Kay.

‘Kalau mau, ambil bola itu,’ perintah Pak Ito.

Kay bangun dan melaksanakan perintah gurunya.


* * *

‘Itu sering kejadian, Pak,’ jelas Pak Ito pada Baba, ‘dulu saya pernah melakukan kesalahan dengan tertawa saat Kay bertingkah lucu waktu diperintah—dan anak itu kan memang lucu sekali, ya—akhirnya malah ia menggunakan tingkah lakunya sebagai senjata, ia malah jadi sering melucu untuk mengalihkan perhatian saya dari pelajaran. Akhirnya saya acuhkan saja dan menunjukkan muka marah—dan berusaha untuk tidak tertawa—bila ia mulai seperti itu. Kadang-kadang saya sampai harus menghadap tembok, supaya tidak terlihat kalau saya menahan tawa. Kay kan memang lucu anaknya, apalagi waktu itu dia suka menyanyi lagu Sunda yang aki-aki peyot itu.

‘Kalau dia melihat saya sudah menulis, lain lagi ceritanya.’


* * *

Pak Ito menuliskan laporan harian Kay dalam buku penghubung. Kay langsung duduk diam meninggalkan permainannya dan memperhatikan Pak Ito.

‘Udah, main aja,’ perintah Pak Ito.

Kay tetap memperhatikan terapisnya. Lalu ia mendekat, ‘Nulis,’ katanya.

‘Kay mau nulis?’ tanya Pak Ito sambil menyerahkan buku dan pena pada Kay.

‘Nggak,’ kata Kay, tangannya meraih tangan Pak Ito dan mengarahkannya ke buku dan pena, ‘Pak Ito aja.’


* * *

‘Sepertinya Kay heran, karena biasanya kan dia melihat tulisan saya patah patah, karena menunjukkan dia bentuk dan garis. Kok sekarang nyambung dan gerakannya mengalun,’ kata Pak Ito tertawa.

Dec 19, 2006

Kegiatan Sebelum Tidur

‘Kalau Kay haus tandanya mau?’

‘Minum.’

‘Kalau Kay lapar tandanya mau?’

‘Mamam,’ jawabnya, lalu menyodorkan tangan kecilnya ke mulut Baba, ‘Am!’

‘Kalau Kay mengantuk tandanya mau?’

‘Bobo.’

Lalu ia bergulingan di tempat tidur, meraih sebuah buku, membukanya, membaliknya, berupaya meratakan punggung buku itu dengan tangan-tangan kecilnya, dan merebahkan tubuhnya di atas buku itu. Untungnya buku yang dipilih adalah sebuah TV Guide.

Sejurus kemudian Kay bangun dan turun, berjalan menuju tape compo dan mencari-cari novel yang terkadang Baba letakkan di atasnya.

‘Mana ya? Mana ya?’ gumamnya sambil meraih dan meraba-raba bagian atas tape compo itu.

‘Udah, buku ini aja,’ kata Baba sambil mengangkatnya kembali ke tempat tidur.

‘Mau yang mana?’ tanya Baba. Kay duduk menghadap dua buku: A Treasury for Three Years dan TV Guide.

‘Yang ini aja,’ katanya meraih TV Guide itu dan kembali membuka, membalik, dan merebahkan tubuhnya di atas buku tersebut.

‘Kay, nyanyi dong, sambil tepuk tangan,’ pinta Baba.

Ia menyanyikan bagian pertama lagu Hai Teman-Teman sambil bertepuk tangan, lalu menggosok-gosok tangan kecilnya. Setelah itu, ia menggosok-gosok badannya.

‘Sabunan ya?’ tanya Baba, ‘tangannya sekarang.’

Ia menggosok kedua lengannya.

‘Mukanya?’

Tangan kecil itu menggosok-gosok wajah berhias cengiran.

‘Kalau sudah, dibilas ya,’ ucap Baba, ‘Gimana bilasnya?’

Kay tampak ragu. Ia biasanya dibilas dengan mencebur ke dalam bak plastik. Ia hanya menggosok badannya.

‘Gini caranya,’ Baba meraih tangan Kay dan mengepalkan jemarinya, berpura-pura memegang gayung, dan mengayunkan tangannya ke kepala Kay.

Kay tampak senang. Ia mengulangi gerakan itu berkali-kali.

Pintu kamar terkuak dan Bibi melongok, ‘Bibi pulang ya.’

‘Bibi mau pulang Kay,’ kata Baba, ‘Kay harus bilang apa?’

‘Bi, Kay bobo dulu ya,’ kata Kay.

‘Apa lagi yang harus dibilang sebelum Bibi pulang?’ tanya Baba lagi.

‘Bi, Kay pulang dulu ya,’ kata Kay.

‘Bukan itu, Nak,’ ucap Baba berusaha menjelaskan, ‘Bibi udah bantu dan temani Kay hari ini, makanya Kay harus bilang?’

Kay tampak bingung. Ia diam saja.

‘Terima?’ Baba memancing.

‘Kahih, Bi,’ sambung Kay akhirnya.

‘Iya, Nak. Bibi pulang ya,’ pamit Bibi, ‘Dadah dulu.’

Kay melambaikan tangannya, ‘Dadaaaaaaah.’

Kiss-bye-nya mana?’ tanya Bibi.

Kay mencium telapak tangannya lalu melambaikannya ke arah Bibi, ‘Mmmmmmah!!’

Setelah Bibi pulang dan membaca doa, Kay berbaring telungkup dan segera tertidur.

Dec 18, 2006

Musical Aptitude?

Akhir minggu kemarin di rumah Yangti Baba menemukan satu hal yang unik dari Kay.

Di kamar Yangti, Kay bernyanyi jingle iklan salah satu pasta gigi anak yang selalu kami gunakan untuk mengajaknya menggosok gigi. Jingle itu dimulai dengan baris-baris:

Hai teman-teman
Jagalah kesehatan
Jangan lupa gosok gigi
Dst.

Bahwa Kay sudah bisa bernyanyi, itu bukan sesuatu yang mengherankan Baba. Tokh Mama dan Baba selalu mendendangkan lagu-lagu pengantar tidur sejak ia masih bayi. Yang membuat Baba takjub adalah Kay bernyanyi sambil bertepuk tangan mengikuti irama dan ketukan jingle tersebut. Dan sepanjang pendengaran Baba, ketukannya tidak meleset.

Selama ini Kay memang tidak terlalu sulit dalam mempelajari lagu, meskipun ia mungkin belum bisa mengucapkan kata-katanya (terutama lagu berbahasa asing), ia biasanya bisa mengikuti nada lagu itu setelah tiga sampai lima kali mendengarkan. Tapi kali ini ia menunjukkan peningkatan dengan bernyanyi sambil bertepuk tangan seiring dengan ketukan dan irama lagu itu.

Hmm…mungkin kita harus menggali lebih dalam kemampuan ini, Ma…

Dec 8, 2006

Nakal atau Kolokan??

Akhir-akhir ini Kay mulai menunjukkan kenakalan yang lebih dari biasanya. Ia sering menolak perintah, menahan kantuk hingga larut malam, sengaja mengompol, dan ia mendapat hukuman di sekolahnya. Dua kali.

Di kelas Kay menolak perintah yang diberikan gurunya dan Ibu Rissa, sang guru, memerintah Kay untuk berdiri di atas meja sebagai hukuman. Hari pertama mendapat hukuman itu Kay langsung menjadi anak yang kooperatif, namun di hari berikutnya ia kembali mendapat hukuman itu dan reaksinya sangat berbeda dengan saat pertama ia dihukum: kali ini Kay hanya cengar-cengir seolah ia menikmati hukuman itu.

Saat ditanya apakah ia mau belajar, Kay dengan lantang menjawab, ‘Nggak! Gak mau belajal!’, tapi waktu ada yang bertanya apakah ia mau belajar dan Ibu Rissa menjawab bahwa Kay tidak mau belajar, dengan sama lantangnya ia berkata, 'Mau!!'

Ia bahkan menangis saat melewati ruangan Bapak Ito, salah seorang gurunya.

Di rumah, ia berusaha keras menahan kantuk dengan berbagai cara, mulai dari berteriak-teriak, menghentakkan kakinya ke dinding kamar berkali-kali, hingga berusaha memancing Teteh Iis untuk bermain kejar-kejaran dengannya. Pada jam sepuluh malam, dengan mata setengah tertutup dan langkah yang sudah tak teratur karena kantuk.

Biasanya ini berakhir dengan tiga pasang celana basah karena ia tidak mau bilang kapan ia mau pipis meskipun ia sudah bisa bilang. Ia akan tersenyum, memegang selangkangannya yang sudah basah, sambil berkata, ‘Pipis,’ atau keluyuran dengan celana basah sambil berkata, ‘Ngompol. Nggak bilang.’ And the silly grin never disappears from his face!

Kadang-kadang kebiasaannya ini juga menyebabkan kasur basah.

Sudah kurang lebih empat malam ini Baba tidak tahu kapan Kay benar-benar tidur karena Baba selalu tertidur lebih dulu karena lelah.

Kay biasanya langsung mengajak Baba masuk ke kamar segera setelah Baba tiba di rumah. ‘Teteeeh, Kay bobo dulu ya…’ begitu katanya, pamit bobo pada Teteh Iis lalu menggamit lengan Baba sambil menunjuk pintu kamar, ‘Ke hitu,’ katanya.

Begitu di kamar ia akan memanjat naik tempat tidur, Baba menyuruhnya berdoa—kadang agak sulit, tetapi bila Baba menyuruhnya mendoakan Mama ia segera berdoa tanpa komando.

Kemudian ia mulai nyengir.

Dan mulai bermain-main di tempat tidur. Melenting-lentingkan tubuhnya, menendang-nendang dinding, mengintip ke luar jendela—‘Gak ada olang!’—bergulingan nggak keruan, nungging, duduk, dan berusaha memanjat tumpukan bantal yang dimaksudkan untuk menjaganya agar tidak jatuh dari tempat tidur (Kay tidurnya lasak). Singkatnya, ia berusaha semampunya untuk menahan kantuk. Dan peristiwa ini selalu diakhiri dengan sepasang—atau dua pasang—celana basah dan seorang ayah yang menggantikan celana anaknya dalam keadaan setengah tertidur sambil ngedumel.

Semua peristiwa ini menyebabkan Kay tidur larut malam, bangun terlambat, rewel di sekolah dan akhirnya dihukum.

Semalam, mumpung hari ini ia nggak sekolah, Baba membiarkan Kay bermain-main lagi di ruang tengah setelah kurang lebih satu jam—dan dua pasang celana basah—melawan kantuk di dalam kamar.

Kay keluyuran ke seluruh penjuru ruang tengah memilah dan memilih mainan yang ia suka (in this case sebuah Tupperware bundar yang biasa dipakai untuk membawa bekalnya) dan memainkannya sambil sesekali rebahan di lantai.

Setengah jam kemudian ia bangun dan terhuyung-huyung menghampiri Baba yang sedang berbaring menonton tv. Wajahnya sudah menunjukkan rasa kantuk yang tak tertahankan lagi.

‘Hama Baba,’ katanya.

‘Minta apa?’ tanya Baba.

‘Minta geddong hama Baba.’

Baba menggendong bocah yang matanya setengah terpejam itu.

‘Pipis dulu nggak?’ tanya Baba.

‘Pipis dulu,’ jawabnya.

‘Di mana?’

‘Di hitu,’ jawabnya menunjuk ke arah kamar mandi.

Baba mengantar Kay pipis, lalu menggiringnya ke kamar. Dalam perjalanan menuju kamar, Kay memungut sebuah mainannya (orang-orangan Lego Duplo yang biasa kami sebut ‘Pak Item’) dan membawanya ke kamar.

Di atas tempat tidur, Kay segera terlelap sambil memegang Pak Item erat-erat.



Note:

Pada suatu hari Teteh Iis pernah memergoki Kay membuka lemari pakaian dan mengeluarkan baju Mama. Saat diminta menyimpan kembali pakaian itu Kay menolak dan bahkan melarang Teteh Iis menyimpannya.

'Kenapa?' tanya Teteh Iis, 'Kangen?'

'Kangen,' kata Kay, 'MAMAAAA!!!!'

Dec 4, 2006

Weekend at Yangti's

Baba : Ayo bilang dulu sama Paman Mon-mon. Selamat…?

Kay : Hiang!

Baba : Lho, bukan selamat siang. Selamat…?

Kay : Helamat ulang tahun…


* * *


Yangti : Dwi mana?

Kay : Hwedia.

Yangti : Ngapain di Swedia?

Kay : Hokolah.

Yangti : (Dengan nada bercanda) Ngapain sekolah jauh-jauh?

Kay : Kangen.

Yangti : Kangen?

Kay : Banget.


* * *


Baba meraih tangan Kay dan menyuruhnya berpijak pada kaki Baba. “Robot-siap-berangkat,” kata Baba menirukan suara mekanis sebuah robot.

Kay melepaskan tangan Baba dan sambil duduk menjawab, dengan suara mekanis sebuah robot juga, “Duduk-aja.”


* * *


Samples of inane mumblings (and yells) heard in Paman Mon-mon’s room while Kay is playing with Baba:

1. ‘Awas ada motol!’
2. ‘Wang wing!’ (menirukan teriakan burung beo.)
3. ‘B-I-N-G-O! B-I-N-G-O!’
4. ‘Bulung! Ayam! Bebek!’ (sambil memegang topi ayam Paman Mon-mon.)
5. ‘Hehat ya bu ya..!’


* * *


Kay menghambur keluar kamar Paman Mon-mon langsung ke teras tempat jemur pakaian. Belum sampai ke ujung teras ia segera berbalik dan berjalan pelan-pelan sambil berjingkat.

“Panas,” katanya, “panas,”

“Siapa suruh kamu ke situ?” tanya Baba sambil senyum.

Kay menghambur masuk ke kamar lagi.


* * *


“Hayo bilang sama Engkong,” kata Baba.

“Kong, Kay pulang dulu,” kata Kay.

“Eeh, bukan pulang!” sergah Baba.

“Kong, bobo—Kay bobo dulu ya,” ulang Kay.

Kami keluar dari ruang kerja Engkong dan masuk ke kamar Yangti. Lalu Baba merebahkan Kay di tempat tidur, tapi Kay langsung melompat bangun.

“Minta geddong hama Teteh!” katanya.

“Lho, sama siapa?” tanya Baba.

“Minta geddong hama Baba!”

Baba menggendong Kay yang langsung meletakkan kepalanya di bahu Baba. Sudah ngantuk dia.

“Mau ke mana?” tanya Baba.

“Ke hitu,” jawab Kay sambil menunjuk pintu.

“Bobo di sini aja ya?” tanya Baba sambil menunjuk tempat tidur.

“Ke hana aja!” bentak Kay sambil menunjuk pintu.

Baba keluar merebahkan dan mengeloni Kay di sofa. Saat Kay sudah setengah tertidur Baba memindahkan Kay kembali ke kamar Yangti dan merebahkan dia di tempat tidur.

“HAMA BABA AJAAAA!” tangis Kay tiba-tiba. Manja sekali anak ini, hanya mau dikeloni Baba.


* * *


Baba : Kay udah sekolah belum?

Kay : Udah.

Baba : Belajar apa di sekolah?

Kay : …

Yangti : Belajar apa Nak?

Kay : Pak Ito.

Baba : Pak Ito ngajarin apa?

Kay : Lompat.

Baba : Ibu Qori ngajarin apa?

Kay : Lonce.


* * *



“Tuh, Baba udah nyiapin mobil tuh!” kata Yangti. Sekejap kemudian terdengar suara langkah anak kecil berlari ke teras depan rumah, “IKUT! IKUT! IKUT!”

Baba masuk ke dalam rumah dan mendapati Kay sudah melintas ruang tamu. Baba memutar badannya kembali masuk, “Hayo, pamit dulu!”

“Yangti! Kay pulang dulu ya,” teriaknya, girang sekali.
“Sama Engkong!” perintah Baba.

“Kong, Kay pulang dulu,” ucapnya.

“Bude?”

“Bude, pulang dulu yaaaaa,”

“Iya Nak,” kata Bude sambil mencium Kay, yang berada di gendongan Baba, “pamit sama Kakak.”

“Kakak, Kay pulang dulu,”

“Peluk dulu dong!” kata Kakak.

“Gak boleh,” jawab Kay berkelit.

“Aah, boleh dong!” kata Kakak sambil memaksa mencium Kay yang membuang muka sambil terkekeh-kekeh.

“Oh, emang dasar anak ngaco,” kata Bude menggoda.

“Ngaco,” kata Kay.

“Mau pulang ke Pondok—?” tanya Baba.

“Gede!” jawab Kay sambil nyengir.

Di dalam mobil Kay berteriak-teriak, “DADAAAAA!!!!” katanya dengan penuh semangat sambil melambai-lambaikan tangannya dengan sekuat tenaga.

“Itu anak girang banget mau pulang!” kata Yangti, “Dada, Nak! Hati-hati ya…”