Sep 17, 2007

Obrolan Sebelum Tidur

Tok! Tok! Tok!

Baba mengetuk pintu kamar.

Tok! Tok! Tok!

Suara tangisan menyambut ketukan pintu. Baba segera membuka pintu dan masuk.

Di tempat tidur Kay sedang menangis keras. Di sebelahnya Bibi berusaha membujuknya. Baba segera menghampiri.

‘Yang ngetuk tadi Baba Nak,’ kata Baba berusaha membujuk. Baba mengira ia menangis karena kaget mendengar suara pintu diketuk.

‘Gendong,’ rengeknya sambil berusaha duduk. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi.

‘Masih sedih dia, masih sedih,’ kata Bibi sambil keluar kamar.

Baba menggendong Kay dan dalam beberapa menit tangisannya sudah reda.

‘Bobo lagi ya?’ ajak Baba.

‘Bobo,’ katanya lirih.

Baba merebahkan Kay kembali di tempat tidur, lalu berbaring di sebelahnya. Ia segera memeluk leher Baba.

‘Kay mau Buku Ayam?’ tanya Baba. Kemarin Sabtu di supermarket ia menemukan buku tentang ayam di dekat kasir. Buku itu diambil dan segera menjadi buku favorit.

‘Buku ayam. Ayam dua aja,’ katanya.

Meskipun ia minta Ayam Dua, ia tidak merajuk saat Baba memberikan Buku Ayam itu kepadanya. Akan tetapi buku itu hampir tidak dipandang. Ia hanya mengambil buku itu dari tangan Baba dan meletakkannya asal di atas tempat tidur.

‘Kenapa sih Kay menangis?’ tanya Baba setelah berbaring di sisi Kay lagi.

‘Kan kalau sedang kesal kata Jojo harus tarik napas,’ kata Baba, ‘gimana tarik napasnya?’

Kay menarik napas panjang.

‘Terus hitung sampai?’

‘Lima,’ jawabnya lirih.

‘Sepuluh, dong. Kalau kata Jojo hitungnya sampai sepuluh.’

Kemudian kami menghitung sampai sepuluh. Setelah selesai menghitung Kay kembali mengambil napas panjang.

‘Kay kesayangan siapa sih?’

Ia berbalik memunggungi Baba.

‘Kesayangan siapa, Nak?’

‘Keshayangan Baba.’

‘Kesayangan Baba atau kesayangan Mama?’

‘Keshayangan Baba aja!’ geramnya.

‘Kay itu kesayangan dua-duanya. Mama juga sayang lho sama Kay. Sayaang sekali,’ kata Baba, ‘Kay sayang nggak sama Mama?’

‘Shayang.’

‘Sama Baba sayang nggak?’

Ia berbalik lagi dan memeluk leher Baba, ‘Shayang,’ katanya. Tapi wajahnya masih menyisakan kesedihan.

‘Kay tadi makan apa?’ tanya Baba lagi, berusaha membujuk.

‘Makan nashi,’ jawab Kay.

‘Pake apa?’

‘Pake shayul.’

‘Sayur apa?’

‘Shayul bayem melah.’

‘Terus lauknya apa?’

Diam. Dia berusaha mencerna apa itu “lauk”, kata yang jarang ia dengar.

‘Tempe goreng? Tahu goreng?’ tanya Baba memancing.

‘Tahu goleng.’

‘Kay suka tahu goreng?’

‘Shuka.’

‘Enak ya? Kalo enak, tangannya gimana?’

Kay mengacungkan jempolnya.

‘Terus makan apa lagi? Makan pepaya?’

‘Mi,’ katanya.

‘Makan mi?’

‘Pake agel.’

Hah? Makan mie pakai agar? Model mana lagi nih? Baba harus minta penjelasan dari Bibi atau Teteh.

Tiba-tiba Kay menarik baju Baba, meminta Baba berbaring pada sisi kanan.

‘Bobo,’ katanya sambil memeluk leher Baba, ‘di bantal.’

Maksudnya Baba harus berbaring dengan kepala di bantal. Tak lama kemudian ia terlelap.

Setelah Kay tertidur Baba bertanya pada Teteh mengenai mie dan agar. Rupanya pada saat berbuka puasa, Kay ikut-ikutan heboh dan minta es buah dengan bahan utama melon dan blewah yang diparut panjang serta agar-agar.

Terus kenapa menangis?

‘Nggak mau pake celana dalam. Terus kan baju piyamanya kekecilan, dia minta “dibenelin”,’ kata Teteh sambil memeragakan menarik-narik lengan baju, ‘kan nggak bisa. Nangis.’

Wah, anak tertib. Jika lengan panjang piyamanya tidak menutupi pergelangan ia memang tidak suka. Demikian juga dengan celana panjang piyama. Harus menutupi hingga pergelangan kaki. Jika bajunya tertarik sehingga perutnya terbuka ia pasti langsung menutupinya lagi.

Sep 12, 2007

'AH!' Katanya Memprotes

‘Gendong!’ suara anak lelaki di sebelah Baba membuyarkan impian. Baba membuka mata dan mendapatkan Kay sudah duduk bersila. Matanya masih setengah terbuka dan mulutnya cemberut. Secara keseluruhan ia masih terlihat amat sangat mengantuk.

‘Gendong!’ katanya lagi.

Dengan susah payah dan mata yang masih lengket, Baba menggendong Kay dan mulai mengayun-ayunnya.

‘Ke shana!’ katanya sambil menunjuk asal-asalan ke arah pintu.

Di luar kamar ia merosot turun. Masih dengan mata setengah terpejam. Baba melirik ke jam dinding. 05:30.

‘Pipis dulu yuk,’ ajak Baba, ‘pipis sama Teteh ya.’

Baba hampir tak kuasa menahan kantuk.

‘AH!’ protesnya, ‘shama Baba aja.’

Baba menggandeng tangannya.

‘AH!’ protesnya lagi, ‘gendong aja!’ katanya sambil mengangkat kedua tangannya.

Baba kembali menggendong Kay dan berjalan terseok-seok ke kamar mandi.

Setelah selesai pipis Kay kembali mengembangkan “sayapnya.”

Baba kembali menggendong Kay dan berjalan terseok-seok kembali ke kamar.

‘Bobo lagi ya,’ kata Baba, ‘Baba ngantuuk sekali.’

Di tempat tidur ia segera memeluk leher Baba dan memejamkan mata. Baba segera terlelap. Dan terbangun beberapa saat kemudian karena merasa geli di belakang lutut.

Kay sedang asyik mengorek-ngorek belakang lutut Baba dengan telunjuknya.

‘Dikodek-kodekin,’ katanya sambil nyengir.

‘Aduuh, jangan dong! Geli! Baba kan mau bobo dulu sebentar lagii aja,’ mohon Baba sambil menggesernya. Baba kembali terlelap.

Dan terbangun kembali dengan rasa geli di tempat yang sama.

‘Dikodek-kodekin,’ kata Kay dengan cengiran yang lebih lebar. Baba menghentikan kegiatannya dengan menurunkan Kay dari tempat tidur.

Ia segera lari keluar kamar. Baba terlelap kembali.

Telepon berdering. Suara Mama menyambut telinga Baba. Kay yang sudah mandi dan rapi mendekat. Baba meletakkan gagang telepon ke telinganya.

‘AH!’ katanya memprotes, lalu melarikan diri ke dapur sambil menyeret sapu.

Sep 8, 2007

Mengabsen Isi Kamar

‘Kaki! Celana!’ seru Kay sambil memegang apa yang disebutkannya.

Kay sudah berada di tempat tidur, sudah siap bobo, tapi masih berusaha menahan kantuknya dengan menolak untuk berbaring. Ia duduk di dekat jendela.

‘Baju!’ lanjutnya.

‘Kaki!’ serunya lagi.

‘Kaki. Terus?’ Baba menimpali.

‘Celana!’

‘Celana. Terus?’

‘Baju!’

‘Baju. Terus?’

‘Kelil!’ Kay menunjuk dadanya.

‘Kayril. Terus?’

‘Baba!’

‘Baba. Terus?’

‘Golden!’

‘Gorden. Terus apa lagi?’

‘Hehehehehe! Tembok!’

‘Terus apa lagi?’

‘Bantal!’

‘Terus?’

‘Langit-langit!’ ia tengadahkan kepalanya.

‘Terus apa lagi?’

‘Atap lumah! Hahahahaha!’

‘Terus?’

‘Lemali!’

‘Lemari. Terus?’

Ia ragu sejenak. Mencari-cari apa lagi yang ada di dalam kamar. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan.

‘Lantai!’

‘Terus apa lagi?’

‘Tembok!’

‘Tadi udah disebut,’ sergah Baba.

‘Golden!’

‘Itu juga udah disebut,’

Kay tampak kehilangan akal. Wajahnya kelihatan bertanya-tanya apa lagi yang bisa ia sebutkan yang ada di dalam kamar ini.

‘Itu apa?’ tanya Baba sambil menunjuk ke alat pengatur suhu udara.

‘A-she,’ jawabnya.

‘Itu apa yang menyala di atas?’

‘Lampu.’

‘Udah, yuk, kita bobo dulu,’ ajak Baba sambil merebahkan tubuhnya.

Kay senyam-senyum sambil menggosok-gosok telapak tangannya, lalu ia mengoleskan tangannya ke pipi Baba.

‘Mmm, ashik,’ katanya sambil nyengir, ‘ashik.’

‘Asyik apaan?’ tanya Baba keheranan.

Yang ditanya nyengir sambil membuang muka, lalu—DUUK!!—jidatnya membentur tembok.

Ia berbalik, memegang jidat. Baba menunggu ledakan tangis. Tidak ada. Kay hanya memegangi jidat sambil berkata, ‘Pake minyak tawon.’

‘Ok. Baba ambilin dulu, ya,’ kata Baba sambil berjalan keluar kamar mengambilkan apa yang diminta.

Setelah Baba masuk ke kamar lagi, ia langsung menyodorkan jarinya. Baba mengoleskan minyak gosok itu ke jari mungil Kay, lalu Kay menggosok-gosokkan jari berminyak itu ke jidatnya yang mulai memerah.

‘Makanya bobo aja, ya. Itu tandanya Kay sudah mengantuk,’ kata Baba.

Kangen?

‘Piggibeng!’ seru Kay sambil bangkit dari duduknya.

‘Piggibeng!’ serunya lagi sambl berjalan ke arah dipan tempat si Piggibeng disimpan.

Baba menghampiri Kay dan bertanya.

Piggy Bank dari siapa, Kay?’

‘Dali Mama.’

‘Dari Mama? Kay kangen nggak sama Mama?’

‘Duuuh,’ jawabnya sambil meraih leher Baba untuk dipeluk, ‘shayang. Shayang,’ katanya sambil mengusap-usap rambut Baba.

‘Gendong,’ pintanya manja.

‘Kayril anak siapa sih?’ tanya Baba.

‘Anak Mama,’ jawabnya.

Bawang

Di dapur Kay asyik memandangi Bibi mengupas bawang merah. Ia lalu menghampiri wadah bawang merah dan mengambil sebutir.

'Hey, untuk apa bawangnya diambilin?' tanya Baba.

'Untuk kerokan,' jawab Bibi. Kay sedang asyik menggosok-gosok bawang itu ke kakinya.

'Ya udah, kalau untuk kerokan ambil aja satu, Kay,' perintah Baba pada Kay yang masih saja memilih-milih bawang lainnya.

'Ambil satu aja,' kata Baba lagi.

Kay masih memilih-milih bawang.

'Satu aja,' kata Baba sekali lagi.

'Ambil dua!' katanya menawar sambil mengambil sebutir bawang merah lagi, lalu menggosok-gosokkan keduanya ke kakinya.

Biscotti

Pagi ini Baba sarapan biscotti sambil sesekali menyuapkannya pada Kay. Tampaknya ia doyan. Tak satupun tawaran biscotti dari Baba ditolaknya.

‘Mmmm!’ katanya pada suapan kedua.

‘Mmmm enaak!’ katanya pada suapan ketiga.

Potongan terakhir biscotti kini berada di tangan Baba.

‘Siapa yang mau habiskan ini? Baba atau Kay?’ tanya Baba.

Kay menjawab dengan menangkap dan medorong tangan yang memegang potongan terakhir biscotti itu ke dalam mulutnya.

Laporan Bibi

‘Lucu dia kemarin,’ kata Bibi memulai laporannya tentang Kay.

‘Kenapa?’ tanya Baba.

‘Duduk di meja makan, makan sendiri.’

‘Hah? Udah bisa makan sendiri?’

‘Iya. Kemarin sore dia makan sendiri.’

‘Pake apa?’

‘Pake telor dadar. Bibi bikinin telor dadar pake bawang merah dan daun bawang.’

‘Ya ampuun.’

‘Sambil suap dia suka bilang “mmm enaak” gitu. Bibi liatin aja dari dapur. Bibi bilang ke Iis, “Biarin aja Is, liatin aja.” Habis makannya.’

‘Habis? Pintar!’

‘Berantakan sih,’ kata Teteh Iis, ‘tapi kalo ada nasi jatuh ke meja diambilin. Habis itu mejanya dilapin sama dia.’

‘Berantakan nggak apa-apa, namanya juga lagi belajar,’ kata Baba.

‘Waktu itu,’ kata Teteh Iis memulai, ‘dia mau makan ngeliat tahu goreng di meja, langsung bilang “pake tahu. Pake tahu.” udah diambilin tahunya dia bilang lagi “pake shambel. Pake shambel.”’

‘Hahahaha! sok tahu banget sih!’ tawa Baba berderai mendengarnya, ‘kasih aja, biar tahu.’

‘Kalo ada mah nggak mau!’ timpal Bibi, ‘“Huh-hah!” katanya.’

Ada-ada aja si Kay ini.

Permintaan Khusus

Baba menyalakan komputer. Kay menghampiri. Baba duduk di kursi dan mengangkat Kay ke pangkuan Baba.

Lalu ia berkata:

‘Tulish ayam.’

Jadi Baba tuliskan:

Ayam

Sep 2, 2007

Kejutan Di Rumah

‘Mobil siapa itu, Kay?’ kata Baba sambil menunjuk mobil hijau yang diparkir di dalam garasi. Kami baru saja pulang dari rumah Yangti.

Kay yang sudah mengantuk kembali segar. Senyumnya berubah menjadi teriakan kegirangan.

‘Engki!!!!’ serunya girang lalu sekonyong-konyong melonjak-lonjak di jok mobil.

Kakek dan Nenek dari Subang ternyata hari itu datang ke rumah. Bocah yang di mobil tadi matanya sudah setengah terpejam kembali segar. Ia berlari-larian keliling rumah. Ia tertawa-tawa girang sambil berlari takut setelah meminta Kakek memutar tutup gelas. Ia berteriak-teriak tidak keruan. Ia menggigit Kakek, menarik-narik rambut Nenek, minta gendong Kakek dan mengacak-acak lalap teman makan ayam bakakak. Pokoknya heboh sekali!

Setelah puas bermain, Kay dipersiapkan untuk bobo oleh Teteh Iis. Disikat giginya, cuci kaki, tangan dan muka, lalu mengenakan piyama. Dengan sedikit bantuan, Kay bisa memakai baju piyamanya sendiri.

‘Bobo sama siapa?’ tanya Baba setelah ia siap.

‘Shama Baba,’ jawabnya sambil menggandeng tangan Baba.

‘Bilang apa sama Teteh?’

‘Teh, Kay mau bobo dulu, ya.’

‘Kay sudah dibantu sama Teteh hari ini. Kalau sudah dibantu bilang apa?’

‘Telima kashih. Dadaaaaa!’ serunya sambil melambaikan tangan.

Di kamar, Kay menyalakan AC, berguling-guling dan bertingkah untuk yang terakhir kalinya di hari itu.

Ia minta diantar pipis. Setelah selesai dan kembali masuk ke kamar, ia memaksa minta minum air putih.

‘Benar-benar diminum ya,’ kata Baba yang mengetahui bahwa ia punya kenakalan baru yang sebentar lagi akan Baba jabarkan.

Baba mengambilkan air yang diminta. Kay meminum air itu lalu berkumur-kumur.

‘Hayo, telan!’ perintah Baba.

Dan ia menyemburkan air di dalam mulutnya, membasahi bajunya dan kasur.

Sebagai hukuman, Kay mendapatkan sentilan ringan di kedua tangan, omelan dari Baba dan harus berjanji untuk tidak mengulangi tindakan itu.

‘Hayo bilang: Kay berjanji tidak akan—’

‘—nyembul-nyembulin ail lagi.’

Kemudian, karena kelelahan ia segera terlelap.

Celotehan Di Dalam Mobil

‘Ini, pake ini,’ kata Teteh sambil menyelimuti kaki Kay dengan selimut yang selalu kami bawa, ‘dingin kakinya kena AC di depan.’

‘Ituu,’ katanya sambil menunjuk ke luar mobil.

‘Apa itu?’ tanya Teteh.

‘Bendela,’ jawab Kay, ‘Bendela beshal.’

‘Mana?’ tanya Teteh lagi, ‘itu mah bendera kecil.’

‘Bendela beshal ituu!’ kata Kay tak mau kalah.

‘Oh, di sana ada bendera besar, yang itu ya?’ kata Teteh sambil menunjuk ke umbul-umbul merah putih.

‘We-she!’ kata Kay.

‘Mana WC?’ tanya Teteh dan Baba sambil tertawa.

‘Itu,’ kata Kay sambil menunjuk ke tong plastik tempat menyimpan air.

‘Itu sih tempat cuci motor, Kay,’ kata Teteh.

Tempat yang ditunjuk Kay sebagai WC memang sebenarnya tempat cuci motor.

‘Yeeeeee!!! Malah dibuka!’ seru Kay sambil membuka selimut yang menutupi kakinya itu.

‘Eeh, jangan dibuka, nanti dingin,’ kata Teteh. Lalu Teteh menutupi kaki Kay dengan sajadah bergambar ayam yang diberikan Uwa Mia sebagai penambah selimut.

Sajadah itu diangkat oleh Kay menutupi kepalanya.

‘Kay mana yaaaaa?’ katanya dengan suara dibuat-buat.

Lalu ia berpaling dan tangannya mulai memegang-megang pengunci pintu mobil.

‘Bahaya, Kay,’ kata Baba memperingatkan, ‘kamu mulai bosan ya, dari tadi macet melulu.’

‘Ketombe!’ serunya tiba-tiba.

‘Ketombe apaan?’ tanya Baba keheranan.

‘Shing shashe!’ katanya lagi.

Sachet? Sachet apa?

‘Ooh, sampo sashe punya Bibi ya? Anti ketombe ya?’ tanya Teteh sambil tertawa.

‘We-she! Kamal itu,’ kata Kay lagi sambil asal-asalan menunjuk ke rumah di tepi jalan.

‘Yee, asal!’ kata Teteh.

Lalu hening. Celotehnya yang sejak tadi meramaikan perjalanan ini tiba-tiba saja berhenti. Baba menoleh dan mendapatkan Kay sedang menguap lebar-lebar. Di bawah matanya muncul garis yang menandakan ia mengantuk.

‘Wah, baterainya habis nih?’ goda Baba. Ia cuek. Sudah mengantuk sekali tampaknya. Hehehe, lagian siapa suruh nggak bobo siang, Kay?

Dalam Perjalanan Pulang

‘Mau ke depan,’ kata Kay.

‘Iya, sebentar ya, kantong plastiknya disingkirin dulu,’ kata Baba sambil memindahkan kantung plastik berisi belanjaan dari jok depan.

‘Mau ke depan!’ geramnya menandakan ia mau pindah ke depan sekarang. Kami sedang berada di dalam mobil, dalam perjalanan pulang setelah seharian main di rumah Yangti. Di dalam mobil Kay memang biasanya duduk di kursi tengah bersama Teteh Iis.

‘Mau ke depan!’ rengeknya lagi.

Untung saat itu situasi lalu lintas sedang macet, sehingga dengan mudah Kay bisa dipindahkan ke depan, duduk di kursi penumpang di sisi supir.

‘Pake shabuk pengaman,’ pintanya.

Teteh segera memakaikan sabuk itu. Kay tersenyum-senyum gembira, ‘Mobil!’ katanya sambil menunjuk ke depan.

Kay sangat menikmati perjalanan pulang itu, meskipun lasak dan tangannya beberapa kali memegang tuas persneling yang menyebabkan ia berkali-kali ditegur Baba.

Tangannya yang bertualang menemukan kotak penyimpan koin. ‘Ambil ini,’ katanya sambil mengambil beberapa koin dari dalam kotak itu.

‘Mashukin ke shini,’ ucapnya sambil memindahkan koin ke dalam kotak di bawah tape mobil, tempat Baba meletakkan uang ribuan untuk bayar tol.

Ia melakukan hal itu berkali-kali hingga seluruh koin berpindah tempat.

‘Lampu,’ katanya sambil menunjuk ke lampu jalan yang berpendaran di luar.

‘Tos dulu dong,’ kata Baba sambil menyodorkan tangan kiri untuk ditepuk oleh Kay.

Kay menepuk tangan Baba, memberikan high five.

‘Tos jempol,’ pinta Baba. Biasanya kalau Baba meminta ini, kami akan mengadu jempol kami.

‘Nyupil, nyetil aja!’ kata Kay sambil menunjuk ke setir mobil.

Waduh, dimarahin, hehehehe!

Sajadah Ayam Dari Uwa Mia

‘De, ini sajadah dari Mia,’ kata Bude sambil memberikan sebuah bungkusan.

Baba membuka bungkusan itu dan menunjukkan sajadah bergambar dua ekor ayam sedang makan kepada Kay.

‘Ayam,’ katanya, ‘ayam dua.’

‘Iya, gambarnya ayam ya?’

‘Bebek,’ katanya sambil menunjuk barisan anak ayam yang menghiasi sajadah itu, membatasi pemandangan dua ekor ayam yang sedang makan dan pemandangan alam.

Baba menggelar sajadah itu di lantai.

Begitu sajadah itu digelar, Kay langsung merebahkan diri di atasnya.

‘Tilam ompol,’ katanya.

Waduh, Uwa Mia, nggak ada yang ngajarin ini, lho! Hahahaha!

Sep 1, 2007

Laporan Kakak dan Yangti

Baba sedang di supermarket membeli kebutuhan Kay. Karena belanja sudah hampir selesai, Baba menelepon Yangti yang mengajak Kay berkeliling Bintaro Plaza sementara Baba berbelanja.

‘Ma, di mana?’

‘Ini di lantai 2, si Kay lagi ngeliatin ikan,’

Uh-oh, sounds like potential trouble, pikir Baba.

‘Oh, ok. Senang dia?’

‘Senang banget. Udah ya?’

‘Ok.’

Baba kembali berkeliling mencari barang-barang yang dibutuhkan, lalu mengantri di kasir.

Sementara menunggu transaksi selesai, Baba menelepon Kakak.

‘Di mana? Aku hampir selesai nih, lagi bayar.’

‘Di atas,’ suara Kakak terdengar agak kerepotan, ‘lagi mau turun. Anakmu ngamuk. Nggak mau berhenti ngeliatin ikan.’

I knew it.

‘Oh, ok. Aku di kasir ya.’

Lima menit kemudian mereka tiba di pandangan. Kay sudah terlihat cerah ceria dan mulai meraba-raba atau meraih segala sesuatu yang ada dalam jangkauan tangannya. Senyumnya nakal sekali.

‘Wah! Dia ngamuk, nggak mau disuruh berhenti,’ kata Yangti.

‘Si Teteh dijambak!’ kata Kakak.

‘Kerudungku ditarik,’ kata Yangti lagi, ‘Sakit Is, dijambak sama dia?’ tanya Yangti ke Teteh Iis.

‘Ah, itu mah sudah biasa,’ jawab Teteh santai.

‘Awalnya sih tenang-tenang aja. Dia senang ngeliatin ikan,’ kata Kakak, ‘sambil tidur-tiduran.’

Hah? Tidur-tiduran? Tidur-tiduran gimana? Di lantai? Waduh.

‘Lama kelamaan dia gemas sama ikannya. Airnya mulai dimainin. Karena takut basah dan nggak bawa baju ganti, kita suruh berhenti. Eh, malah ngamuk,’ kata Yangti.

‘Iya, mana nggak ada yang kuat lagi,’ kata Kakak sambil tertawa, ‘dia besar dan berat sekali sih!’

Yang sedang dilaporkan ke ayahnya asyik berjalan digandeng Yangti sambil mencolek dan meraih apapun yang bisa diraih dan dicolek oleh tangannya yang lain.

Ke Rumah Yangti

Mobil sudah keluar dari garasi dan diparkir rapi di depan rumah. Kay duduk manis di dalamnya. Kami sedang menunggu Teteh Iis mengunci pintu sebelum berangkat ke rumah Yangti mengambil sepatu baru Kay yang dibelikan oleh Kakak kemarin.

Teteh Iis masuk ke mobil dan menanyakan apakah Baba sudah mematikan komputer. Karena tidak yakin, Baba masuk kembali ke rumah dan mendapatkan komputer sudah mati, namun monitornya belum.

Telepon berdering.

‘Halo,’

‘De, udah mau ke sini? Si Mama mau kondangan, siang ini dan malam nanti. Nanti kalau ke sini Mama nggak ada kasihan si Kay,’ kata Kakak.

‘Wah, udah siap tuh. Mobil udah keluar, si Kay lagi nunggu di dalam.’

‘Wah, gimana ya? Ngomong langsung sama Mama aja deh.’

Kakak menyerahkan telepon ke Yangti yang menjelaskan hal yang sama dengan apa yang dikatakan Kakak.

‘Oh, ya sudah,’ kata Baba, ‘kalau begitu aku ke sananya besok aja ya.’

Telepon Baba tutup, dan Baba segera ke mobil.

‘Nggak jadi ke Yangti,’ kata Baba pada Teteh Iis, ‘kita ke Carrefour aja, beli susu dan sayuran Kay.’

Baba masuk ke dalam mobil sementara Teteh Iis menyelesaikan tugas menutup semua pintu dan jendela rumah.

‘Kita beli susu aja ya, Kay,’ kata Baba, ‘Yangti mau pergi soalnya.’

Kay menggeram marah, ‘Ke lumah Yangti aja!’

‘Yangtinya nggak ada, mau pergi. Nanti nggak ketemu. Kita beli susu aja, ke rumah Yangtinya besok aja, ya?’

‘Jangan beli shushu aja! Ke lumah Yangti aja!’ rengek Kay, tangisnya hampir meledak.

Akhirnya Baba mengalah.

‘Ok, ok. Kita pergi ke rumah Yangti.’

Di jalan Baba menelepon Yangti menjelaskan apa yang terjadi dan bahwa akhirnya kami akan tetap ke sana juga.

Yangti tertawa.

Di perjalanan, Kay sama sekali tidak mau disuruh apapun. Ia masih ngambek karena Baba sempat bilang tidak jadi ke rumah Yangti.

Ketika Baba minta tos, ia menolak. Disuruh menyanyi ia menolak. Disuruh menari ia menolak.

‘Jadi Kay maunya ngapain?’ tanya Baba.

‘Ke lumah Yangti!’ jawab Kay sambil cemberut.