Nov 29, 2007

Dyslexia?

‘Nashi wolit,’ gumam Kay yang sedang terbaring bermalas-malasan di lantai, ‘nashi wolit.’

Baba yang sedang sarapan terheran-heran. Kok kedengarannya tak asing, tapi ada yang salah. Apa sebenarnya yang digumamkan Kay?

Setelah beberapa saat akhirnya Baba sadar bahwa ‘nashi wolit’ yang ia gumamkan maksudnya adalah ‘nasi liwet’.

‘Nasi liwet?’ tanya Baba.

‘Nashi liwet,’ kata Kay mengulang.

Beberapa menit yang lalu Bibi memang menggoda Kay dengan menawarkan nasi liwet.

‘Kay mau makan pake nasi liwet?’ kata Bibi, ‘enak. Nasi liwet pake peda goreng.’

Kata ‘liwet’ rupanya masih asing di telinga Kay, sehingga—seperti biasa—ia masih suka terbalik-balik dan salah mengulangnya.

‘Nashi wolit. Nashi wolit,’ demikian kata Kay berulang-ulang.

‘Bukan nasi wolit, Nak,’ kata Baba membetulkan, ‘tapi nasi liwet.’

‘Nashi liwet,’ katanya sambil senyum.

‘Coba suruh dia ngomong bakwan,’ kata Teteh.

‘Coba bilang ‘bakwan’ Kay!’ perintah Baba.

Sambil nyengir si bocah berucap: ‘Bawkan.’

‘Bukan bawkan, bakwan,’ kata Baba.

‘Bawkan,’ kata Kay lagi.

‘Ba’wan,’ kata Baba, kali ini dengan ‘k’ lemah.

‘Ba’wan,’ kata Kay mengulangi.

Kay memang seringkali mengucapkan kata-kata yang baru ia dengar dengan salah. Dulu sekali ia pernah berucap ‘pakeya’. Mama dan Baba bingung memahami kata yang dia ucapkan itu sampai akhirnya ia memeragakan lagu Kepala Pundak Lutut Kaki.

Sambil berucap ‘pakeya’ ia memegang kepalanya.

Boks

Boks mainan itu terbuat dari plastik, dengan ukuran yang cukup besar sehingga saat tidak terisi penuh oleh mainannya, boks itu terkadang diisi oleh tubuh Kay yang lumayan besar dan didorong oleh Baba, Teteh atau Bibi. Bocah yang duduk di dalamnya biasanya akan tertawa-tawa kegirangan, terutama saat boks itu berhenti mendadak karena menabrak dinding atau meja.

Selain menjadi tempat menyimpan mainan dan ‘mobil’ atau ‘kereta’ Kay, boks itu juga mempunyai fungsi lain, yaitu menjadi alat pengasah imajinasi Kay.

Bagaimana caranya?

Selain didorong di dalamnya, Kay juga gemar mendorong boks itu mondar-mandir. Biasanya ia melakukan kegiatan itu sambil ‘menjajakan dagangan’.

Suatu kali sambil mendorong boks berisi mainan itu ia akan berteriak-teriak, ‘Kue, kueeeee!!’

Di lain waktu ia akan berujar lantang: ‘Ikan pindaaaang!! Bu, bade* pindang??’

Pada saat berpura-pura berdagang inilah Baba menemukan bahwa Kay cukup memperhatikan detail.

Satu saat ia menghunjamkan stik drum mainannya ke ‘gerobaknya’ dan memegang stik drum yang mencuat itu dengan tangan kanan dan tangan kirinya memegang salah satu sisi boks. Lalu ia mendorong boks itu sambil berteriak lantang: ‘Mangga, manggaaaaa!!’

Kay dengan cermat memperhatikan dan menirukan tukang mangga keliling yang memang mendorong gerobaknya dengan memegang gagang gerobak dengan tangan satu dan tangan satunya lagi memegang pasak yang mencuat di tengah gerobak.

Kecermatannya memperhatikan tukang keliling yang sering menjajakan dagangannya di sekitar kompleks kami diperlihatkan lagi saat Baba memergoki Kay tidak mendorong boks itu, melainkan menghelanya.

‘Dagang apa sekarang, Pak?’ tanya Baba menggoda.

Yang ditanya cuek.

‘Mangga?’

Masih diam.

‘Kue?’

Tanpa menoleh Kay menjajakan ‘dagangannya’.

‘Balang, balaaaang*!!’ serunya menirukan tukang barang dan koran bekas yang memang biasanya menghela, dan bukan mendorong gerobak mereka.


*bade = mau
* balang = barang, Kay masih cadel.

Nov 23, 2007

Ngambek?

Baba melongok ke dalam kamar. Di tempat tidur ada seorang anak kecil yang sedang dikeloni oleh neneknya. Anak itu mengangkat kepalanya, nyengir dan berkata:

‘Baba mandi dulu aja!’

Baba melangkah masuk ke dalam kamar.

‘Bobo shama Nenek aja! Baba mandi dulu aja!’ katanya lagi.

‘Okay,’ jawab Baba, ‘tapi kiss dulu dong Babanya.’

Baba menundukkan kepala dan Kay mencium pipi Baba.

‘Dadaaaa!!’ katanya sambil melambaikan tangan, kurang dari sedetik setelah pipi Baba dicium olehnya.

‘Dadaaaaa!!’ serunya lagi. Lambaian tangannya makin bersemangat.

Akhir-akhir ini itulah yang sering dilakukan Kay. Ia sudah bisa memilih dikeloni siapa pada saat mau bobo. Dan biasanya bukan Baba yang diminta mengeloni dia. Bisa Bibi atau Teteh Iis.

‘Bobo shama Bibi aja,’ begitu katanya, ‘Baba ngetik aja!’

‘Bobo shama Teteh aja,’ begitu pintanya di lain hari, ‘Baba mamam aja!’

‘Tapi kan Baba udah mamam, baru aja selesai,’ protes Baba.

‘Ah! Ah! Baba ngetik aja! Shama Teteh aja! Dadaaaaa!!’ serunya sambil melambaikan tangan, tanda ia meminta Baba untuk pergi.

‘Ya udah, kiss dulu.’

‘Mmmuah! Dadaaaa!!’

‘Lho, pipi kirinya belum?’

‘Mmmuah! Dadaaaa!!’

‘Tos dulu!’

‘Tosh! Dadaaaaa!!’

Wah, wah, wah, mungkin ia kesal karena akhir-akhir ini Babanya seringkali membawa pekerjaan ke rumah dan terlihat asyik mengetik di depan komputer saja.

Maafkan Baba ya, Nak. Meskipun Baba terlihat sibuk, bukan berarti Baba nggak sayang dan nggak mau main atau ngeloni Kay kok.

Nov 12, 2007

Tolpes dan Lateral Thinking

‘Apa ini, Kay?’ tanya Baba.

‘Tolpes,’ jawabnya.

‘Bukan tolpes, tapi toples,’ kata Baba berusaha membenarkan.

‘Tolpes,’ katanya lagi.

‘Bukan tolpes, Nak, top—?’ kata Baba lagi, maksudnya agar Kay mengikuti suku kata yang Baba ucapkan.

‘—pes,’ lanjut Kay.

‘Hahahahaa! Bukan, ikutin Baba, ya: top—?’

‘Top-pes,’ kata Kay.

‘Hahahahaha, tungguin Baba dong. Top-les, gitu.’

‘Tolpes.’

Kay memang masih sangat cadel dan selalu terbalik dalam mengucapkan kata-kata dengan huruf l dan r yang menempel dengan huruf lain, misalnya: ‘coklat’ dan ‘jigrak’. Ia akan menyebutkan kedua kata itu sebagai ‘colkat’ dan ‘jilgag’.

Tetapi, dalam hal yang lain, ia menunjukkan kecerdasannya. Mungkin ini menunjukkan kemampuan lateral thinking Kay.

Suatu hari ia diminta oleh Kakak memakai sandal. Ketika ia sedang memasukkan kakinya ke dalam sandal jepit favoritnya itu, secara tidak sengaja sandal itu tertendang sehingga posisinya berubah, sebelah kanan ada di sisi kiri dan sebaliknya.

Kay tidak menunjukkan tanda-tanda akan memperbaiki posisi sandal, ia malah terlihat cuek dan tetap menyorongkan kakinya ke dalam sandal itu.

‘Eh,’ kata Kakak, ‘sandalnya terbalik. Benerin dulu, dong.’

‘Iya,’ tambah Yangti, ‘nanti jatuh, lho.’

Kay cuek dan menyilangkan kaki kanannya ke depan kaki kiri dan memakai sandal kanan, lalu ia melakukan hal yang sama pada kaki kirinya. Akhirnya ia tidak memakai sandal terbalik.

‘Wah, udah pintar, ya, ternyata,’ kata Kakak memuji.

Aku udah tau kok kalo sendalnya terbalik. Kan bisa juga makenya kayak gini, nggak usah pake bungkuk-bungkuk ngebenerin posisinya dulu, mungkin itu pikir Kay.