Jan 14, 2008

Pengenalan Profesi

‘Kay, ini pekerjaan apa?’ tanya sang terapis sambil menunjukkan gambar seorang polisi.

‘Polishi,’ jawab Kay pasti.

Dalam salah satu sesi terapi Kay dia memang diajarkan untuk mengenal benda-benda dan profesi yang ada di sekelilingnya.

‘Kalau ini apa?’

‘Pemadam kebakalan.’

‘Yang ini?’ sang terapis menunjukkan seorang yang mengenakan jas medis.

‘Doktel.’

‘Kalau yang ini apa, Kay?’ tanya Sang Terapis lagi sambil menunjukkan gambar seorang lelaki bertubuh tegap berseragam loreng dan memegang senjata.

Kay memperhatikan sejenak gambar yang baru pertama kali ia lihat itu.

Kemudian tanpa keraguan sedikitpun ia menjawab:

‘Pengamen.’

Sambil menahan tawa Sang Terapis mengoreksi jawaban Kay.

‘Ini bukan pengamen, Kay. Ini tentara.’

‘Telima kashih, Bu,’ kata Kay melanjutkan sambil membungkukkan badannya menirukan pengamen yang baru saja diberi uang.

Beberapa minggu kemudian saat Baba dan Mama sedang mengantarkan Kay sekolah, Ibu Widya, sang terapis bercerita tentang sesi terapi yang baru saja selesai.

‘Sekarang Kay sudah tahu tentara. Tadi begitu saya tunjukkan gambar tentara ia bisa mengenalinya dengan tepat.’

‘Sudah tidak dibilang pengamen lagi ya,’ kata Baba.

‘Tidak. Tapi ketika saya tanya “tentara bawa apa, Kay?” ia menjawab, “Bawa gitar.” Rupanya senjata yang dibawa tentara itu dikira gitar oleh Kay,’ kata Ibu Widya sambil tertawa.

Kay memang anak yang tidak mengenal senjata karena Baba dan Mama memang tidak pernah membelikan senjata mainan dan tidak pula mengijinkan Kay menonton acara-acara (sekalipun dikatakan sebagai acara anak-anak) yang tokoh-tokohnya memiliki senjata. Akibatnya memang ia mengira senjata yang dipegang oleh tentara dalam gambar itu adalah gitar.

Sebelum berangkat sekolah pagi itu, saat Mama sedang menonton BBC World yang menampilkan kebakaran karena kerusuhan di salah satu kota di dunia, Kay berkomentar dengan mantap:

Ada kembang api banyak, Mama.’

Jan 11, 2008

Mama Datang!

Hai, Gentles, Kay dan para pendukungnya mengucapkan Selamat Tahun Baru 2008!

Iya, iya, sekarang sudah tanggal 11, sudah lumayan terlambat untuk mengucapkan selamat, tapi nggak apa-apa tokh? Soalnya Baba punya alasan yang sangat bagus:

Mama lagi di Jakarta.

Nah, bagus kan alasannya? Makanya agak lama nggak ada update di halaman-halaman buku harian Baba dan Kay. Kami sedang asyik bermain-main bertiga.

Apa? Kapan Mama datang? Tanggal 25 Desember yang lalu.

Tentu saja peristiwa ini membuat Kay menjadi luar biasa gembira dan bahagia.

Waktu Mama keluar dari imigrasi di bandara Soekarno-Hatta, Kay masih malu-malu.

‘Mau sama Mama nggak?’ tanya Mama sambil menawarkan diri untuk menggendong Kay.

Yang ditanya membuang muka, tapi senyumnya lebar sekali.

Mama mengulangi pertanyaan yang sama hingga tiga kali, barulah Kay mau pindah dari gendongan Baba ke pelukan Mama.

Menuju mobil, Mama bertanya lagi pada Kay:

‘Mau digendong Baba?’

‘Shama Mama aja,’ jawab Kay, ‘Biola,’ katanya lagi sambil menunjuk sebuah poster bergambar biola.

‘Sama Teteh mau?’ goda Mama lagi.

‘Ng! Shama Mama aja! Ng!’ jawabnya setengah marah.

‘Ok, ok,’ kata Baba, ‘wah, nggak laku lagi nih.’

‘Duuh, shayangnya,’ kata Kay sambil memeluk Mama dengan erat. Di dalam mobil ia tidak mau beranjak dari pangkuan Mama. Sepanjang perjalanan mungkin ada sekitar empat puluh kali Kay menyatakan ia sayang Mama.

Di rumah, Bibi menyambut dengan membuka pintu mobil yang baru saja Baba parker di garasi. Ia langsung disambut oleh tangan Kay yang melambai-lambai.

‘Dadaaaaa!!’ kata Kay sambil melambai. Artinya ia ingin Bibi pergi dari situ. Wah, Bibi juga nggak laku. Semua dikalahkan oleh Mama.

Esok harinya, ketika sedang bermain-main, Kay selalu menyempatkan diri untuk memeluk Mama sambil bergumam ‘Duuh shayangnya.’

Selain itu ia juga sering menghentikan permainannya dan mendekatkan wajahnya ke wajah Mama. Setelah beberapa detik memperhatikan wajah Mama ia akan menunjuk bahu atau dada Mama sambil berkata:

‘Mama!’

Seolah-olah ia tidak percaya Mama yang sekarang ada di hadapannya adalah yang asli dan bukan foto.

Yah, begitulah, sejak tanggal 25 Desember hingga sekarang hari-hari kami lalui bertiga lagi. Ke rumah Nenek di Subang, ke rumah Uyut hingga kondangan ke Nagreg yang menyebabkan Kay dihukum oleh Baba. Tapi itu kisah yang lain lagi.