Feb 11, 2009

Pitak

‘Euleuh, ini kenapa rambut semua?’ suara Bibi terdengar memecah keheningan pagi kemarin. Baba keluar kamar dan mendapatkan Bibi sedang mengibas-ngibaskan tangannya ke bahu dan perut Kay. Potongan rambut Kay bertebaran di mana-mana.

‘Ya ampuun!’ kata Mama ketika melihat kepala Kay pitak.

Ya, dalam waktu singkat antara ia terbangun dan Baba terbangun, kurang lebih 15 menit, Kay berhasil memotong rambutnya sendiri menggunakan gunting yang tergeletak di atas meja.

Kini ia pitak.

Di sisi kanan tiga, dan di sisi kiri satu.

Kami tentu saja menegur Kay yang dengan sembarangan telah main gunting, meskipun kami juga menyadari bahwa kesalahan pun terletak di pundak kami yang meletakkan gunting tidak pada tempatnya.

Yang ditegur cemberut. Mukanya ditekuk duabelas. Wajahnya menantang. Menangis? Oho, tidak. Gengsi. Sesekali ia menghentakkan kakinya atau memukul Mama, tanda protes. Seolah ia ingin berkata, ‘Baba kemarin juga merapikan rambutnya sendiri. Kenapa Kay nggak boleh?’

Yaaa...memang beberapa kali Baba mencukur rambut tidak di tukang cukur, tapi cukup dengan meminjam alat cukur Uwa Ungking di Bintaro dan merapikan sisanya dengan gunting yang ada di rumah. Ketika Baba merapikan rambut sendiri itulah Kay—seperti biasanya—memperhatikan tindakan Baba.

Dan kemarin ia memraktekkannya. Dan sukses membuat rambutnya pitak.

Bagaimanapun juga, peristiwa ini adalah sebuah peristiwa lucu. Seorang anak menirukan tindakan orang dewasa dengan hasil yang tak terduga (atau malah bisa diduga?)

Kami tidak menegur Kay karena ia membuat rambutnya pitak, tapi lebih karena kekhawatiran bahwa ia bisa saja melukai dirinya sendiri pada saat ia menggunting rambutnya. Untung hanya rambut, coba kalau kuping. Hiiii….amit-amit ah!

Singkat cerita hari ini Kay ditanya oleh Pak Ito, terapisnya.

‘Siapa yang potong rambut?’

‘Kay,’ jawab si bocah.

‘Bagus nggak?’ tanya Pak Ito lagi.

‘Bagus! Kay pintel, Pak Ito,’ jawabnya dengan penuh percaya diri.