Aug 20, 2008

Mengeja

‘Yuu—Emm—Bii—Arr—Ii—Eel—Eel—Eii!’ seru Kay sambil menggelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan.

‘Bacanya apa?’ tanya Baba.

Umbrella!’ teriaknya.

‘Artinya apa?’

‘Payuuung!’

Berkat komputer mainan yang dibelikan Mama, Kay kini sudah bisa mengeja beberapa kata dalam Bahasa Inggris. Memang masih menghapal, tapi ini sangat membantunya mengingat huruf-huruf yang sudah ia kenal dan memudahkannya pada sesi terapi okupasi.

‘Kalau pesawat ejaannya gimana?’ tanya Mama.

‘Eii—Aii—Arr—Pii—Eel—Eii—Een—Ii!’ jawabnya mantap.

‘Bacanya apa?’

Airplane!’

Lucunya, ia juga mengekspresikan marahnya dengan mengeja. Sebelum ini, ia mengekspresikan marahnya dengan mengeluarkan suara-suara tak menentu yang terdengar seperti percakapan meskipun tidak memiliki arti. Tapi sekarang ia mengeja bila marah.

Misalnya, ketika ia mengekspresikan keengganannya untuk membereskan mainannya ia akan merepet:

‘Di-O-Ji! Di-O-Ji!’

Atau

‘I-Wai-I! I-Wai-I!’

Atau bahkan berseru dengan cepat ejaan berikut:

‘Yu-Em-Bi-Ar-I-El-El-Ei!!’

Sedemikian cepatnya sehingga kadang-kadang Baba maupun Mama kesulitan menangkap maksudnya.

Di sekolahnya pun Kay sudah bisa mengeja, dan seringkali Baba atau Mama mengujinya kembali di rumah sambil menambahkan kosa kata ejaan Kay.

Berikut adalah cuplikan menjelang tidur beberapa hari yang lalu:

‘B-A?’ tanya Baba.

‘Baa!’ jawab Kay.

‘J-U?’

‘Juu!’

‘Bacanya?’ tanya Baba.

‘Baaaajuuuu!!’ jawab Kay sambil cengar-cengir.

‘L-A?’ tanya Baba memulai kata yang lain.

‘Laaa!’

‘C-I?’

‘Ciii!!’

‘Bacanya?’

‘Laaaciii!’ tingkahnya makin menjadi-jadi. Ia ajrut-ajrutan di tempat tidur.

‘B-A?’

‘Baa!’

‘B-A?’

‘Baa!!’

‘Bacanya?’

‘BABA!!!’ teriaknya sambil memeluk Baba erat sekali.

‘M-A?’

‘Maa!’

‘M-A?’

‘Maa!’

‘Bacanya?’

‘Mamaa! Mama di lual,’ katanya, Mama memang ada di luar kamar. Kalau kami berdua berada di dalam kamar mengeloni Kay, dia akan menahan tidur sedapat mungkin agar bisa lebih lama bermain-main dan bermanja-manja. Akibatnya bangun selalu kesiangan.

‘K-A?’ tanya Baba, dengan maksud mengeja nama Kay.

‘Y!’ lanjut Kay. Kok nggak dijawab dengan Ka?

‘K-A?’ tanya Baba mencoba lagi.

‘Y!’ jawab Kay lagi.

‘Ya udah,’ kata Baba menyerah, ‘bacanya apa?’

‘BAJAAAAY!!!!’ teriaknya dengan penuh keyakinan.

Aug 19, 2008

Kunci

‘Lho? Kok kunci lemari nggak ada?’ tanya Mama keheranan. Kami baru saja pulang dari rumah Yangti di Bintaro malam Minggu kemarin. Baba menghambur ke kamar dan menemukan bahwa salah satu pintu lemari pakaian kami—tepat di bagian kami menyimpan pakaian sehari-hari—terkunci dan anak kunci yang biasanya tergantung di lubangnya tidak ada.

‘Wah, iya. Pasti tadi dimainin sama Kay,’ kata Baba. Bukan menuduh, tapi ini bukan kejadian pertama. Untungnya pada kedua peristiwa terdahulu, anak kunci selalu berhasil ditemukan.

Setengah mengantuk dan lelah, Baba berkeliling rumah mencari anak kunci itu sambil berusaha mengingat-ingat ke mana saja Kay bermain sebelum kami berangkat ke rumah Yangti siang tadi. Di teras rumah? Tidak ada. Di dapur? Tidak ada. Di garasi? Tidak ada juga. Di ruang tengah? Tidak ada. Di ruang tamu? Tidak ada. Mungkin terselip di bagian lemari yang lain? Tidak ada juga.

‘Wah, terpaksa pakai baju yang ada di luar lemari aja nih,’ kata Baba sambil mengenakan kaus singlet. Tidak mungkin kan Baba tidur dengan kemeja kerja? Pasti nggak enak banget rasanya.

Keesokan harinya kami bertanya kepada Kay, di mana anak kunci lemari itu?

‘Dishimpen,’ kata Kay.

‘Disimpen di mana?’

‘Di shitu.’

‘Di situ di mana, Kay?’ tanya Baba agak mendesak.

Hening.

‘Ilang ya?’ tanya Kay polos.

Baba hampir tertawa terbahak-bahak. Aduuh anak ini, komentarnya ada-ada aja!

Setengah hari kami mencari lagi anak kunci itu tanpa hasil.

‘Congkel aja pakai obeng,’ usul Bibi.

Baba mencoba mencongkel. Gagal. Mendobrak pun gagal.

‘Bisa, Ba?’ tanya Mama.

‘Nggak. Kuncinya kuat. Sulit didobrak. Mungkin kalau kita punya…’ Baba bergegas ke garasi.

‘Cari apa, Ba?’ tanya Mama.

‘Gergaji besi,’ jawab Baba sambil mencari-cari di dalam laci perkakas di garasi.

Untung ada. Baba kembali masuk ke rumah sambil menunjukkan gergaji besi pada Mama.

‘Buatan Swedia nih,’ kata Baba sambil menunjukkan kalimat made in Sweden. Kami berdua tertawa.

Baba mulai menggergaji grendel kunci lemari diiringi tatapan penasaran dari seorang bocah berusia lima tahun.

Tiba-tiba Kay bergegas keluar kamar dan masuk kembali beberapa detik berikutnya sambil memegang sendok makan.

‘Bocok, Ma! Bocok!’ katanya sambil memukul-mukul tembok dan—tentu saja—membuat cat tembok kamar somplak di mana-mana. Rupanya melihat Baba sibuk ia berpendapat bahwa ia juga harus ikut sibuk.

‘Lhoo,’ kata Mama sambil mengambil sendok dari tangan Kay, ‘jangan dipukulin ke tembok dong, nanti rusak temboknya.’

‘Bocok Ma!’ katanya seru sekali.

Lima menit kemudian Baba berhasil memotong grendel kunci lemari itu. Akhirnya kami punya akses atas pakaian sehari-hari kami.

‘Kay nanti jangan suka mainin kunci lemari lagi ya,’ nasihat Mama.

‘Iya,’ jawab Kay.

‘Janji?’

‘Jangji.’

‘Aku udah pisahin kunci-kunci yang lain, jadi kalau hilang masih ada serep. Yang udah rusak, ya sudahlah, mau bilang apa lagi? Paling nanti kita ganti kunci baru aja,’ kata Baba.

Malamnya, anak kunci dari pintu yang siang tadi Baba rusak ditemukan di sela-sela baju di bagian lain dari lemari yang sama . . .