Jun 24, 2007

Kalles™ Kaviar

Kalles™ Kaviar, begitulah yang tertulis di salah satu sisi tube bergambarkan wajah seorang anak lelaki berambut jagung yang sedang tersenyum lebar. Dua kata tersebut berarti ‘kaviarnya Kalle’, dan Kalle adalah anak lelaki dengan senyum lebar itu.

Tube itu berisi pasta yang terbuat dari telur ikan kod yang diasap dengan bumbu-bumbu lainnya. Sandwich terbuka dengan isi telur rebus iris yang diolesi Kalles™ Kaviar ini adalah makanan ringan favorit orang Swedia, dan segera pula menjadi favorit Mama Kay. Mama juga menitipkan Kalles™ Kaviar dan sebungkus knackerbrod, biskuit gandum khas Swedia.

Baba sarapan pagi ini dengan tiga buah knackerbrod yang diolesi Kalles™Kaviar. Saat Baba sedang menyuapkan sandwich sederhana itu ke mulut, Kay mendekatkan wajahnya.

‘Mau?’ tanya Baba sambil menyodorkan biskuit itu.

Kay membuka mulutnya dan mencicip ujung biskuit.

‘Gigit,’ perintah Baba. Ia menggigit ujung biskuit itu. Kecil saja. Mengunyahnya, lalu menelan. Lalu ia mendekatkan wajahnya lagi.

‘Mau lagi,’ katanya.

Baba menyodorkan biskuit itu lagi. Kali ini ia membuka mulutnya lebar-lebar.

Dan mengulum biskuit itu sedetik, seperti mengulum es krim, lalu menarik mulutnya dari knackerbrod itu.

‘Gigit dong!’ kata Baba.

Kay tidak mau. Ia memilih menjilat dan mengulum Kalles™ Kaviar yang melapisi biskuit itu.

Setelah beberapa kali mengulangi tindakan itu, akhirnya Baba meminta Teteh Iis untuk menempatkan sedikit Kalles™ Kaviar di sebuah piring kecil agar bisa langsung disuap oleh Kay.

Ia minta tambah tiga atau empat kali sebelum akhirnya puas.

‘Wah, kayaknya nama Kay harus diganti jadi Kalle, nih,’ usul Mama setelah Baba bercerita pada Mama lewat telepon siang tadi.

Tenda

Sekarang Kay memiliki sebuah mainan baru: tenda. Tenda ini dititipkan Mama kepada Yangti dan Kakak yang baru saja menjenguk Mama di Swedia.

Pada saat pemasangannya Kay memandangi Baba (yang bersusah payah mendirikan tenda itu) dengan tekun. Saking tekunnya, Baba harus berhati-hati sekali agar tiang-tiang tenda itu tidak menyodok Kay yang enggan beranjak dari tempat ia meletakkan pantatnya. Ketika tiga ujung tiang terpancang pada tempatnya, Kay langsung masuk ke dalam tenda itu. Ini tentu saja membuat pemancangan ujung keempat menjadi lebih sulit.

Setelah selesai terpasang, tenda itu langsung menjadi rumah kedua Kay. Ia langsung memasukkan beberapa mainan favoritnya, seekor ayam plastik dan sepasang angsa plastik, sebuah lonceng bundar dari plastik yang dulunya merupakan bagian dari sebuah rebana mainan, dan sebuah buku berjudul ‘Jika Aku Jadi Penguin’. Teteh Iis membekalinya dengan sebuah handuk kecil.

Ia makan siang di dalam tenda, dan bahkan memaksa untuk tidur siang di dalamnya.

‘Bobo di tenda aja!’ rengeknya ketika Baba menggendongnya masuk ke kamar, ‘Shama Bibi aja!’ lanjutnya sambil menghempaskan tubuhnya ke belakang, membuat kepalanya nyaris terbentur kusen pintu.

Akhirnya Baba dan Bibi mengalah. Bibi pun memaksa dirinya masuk ke dalam tenda menemani Kay tidur siang.

Jika dipandang dari samping, kita bisa melihat dua pasang kaki menyembul dari pintu tenda itu. Sepasang menyembul sebatas betis, dan sepasang lagi—kaki Bibi—menyembul sebatas paha.

Lima menit setelah Kay tertidur dalam tenda itu, ia segera dilapisi oleh keringat sebesar bulir-bulir jagung. Upaya memindahkannya ke dalam kamar berbuah tangisan, dan Bibi menyerah.

‘Nanti saja, setengah jam lagi, tunggu dia pulas,’ kata Baba.

Satu jam kemudian Baba menggendong keluar dari tenda, seorang anak yang meronta-ronta dengan hebat. Memukul-mukul dan menendang-nendang hingga kakinya menumbuk salah satu tiang tenda dan ia merengek:

‘Shakiiit, pake Minyak Tawon aja!’

Baba mengoleskan Minyak Tawon pada bagian kaki yang ditunjuk Kay.

‘Gendong shama Baba aja,’ rengeknya lagi.

Baba menggendong Kay, dan menenangkannya di luar tenda. Setelah itu menggendongnya masuk ke kamar. Di kamar Kay meneruskan tidurnya yang terganggu.

Untungnya pada malam hari Kay tida memaksa tidur di dalam tenda.

Jun 17, 2007

Wajan

Sore. Di rumah.

BREENGGG!!!!

Kay mengambil sebuah penggorengan kecil dan membantingnya. Lalu ia mula menelungkupkan penggorengn itu.

‘Kula-kula,’ katanya.

‘Di sini aja mainnya,’ kata Baba sambil mengajak Kay bermain di ruang tengah.

Lalu Kay asyik menonton Playhouse Disney Channel.

Baba menggunakan waktu ini untuk beristirahat sejenak. Dan karena sore itu cukup panas, Baba merebahkan diri di lantai, dengan wajan kecil yang tertelungkup sebagai alas kepala.

Kay langsung ikut merebahkan diri di lantai dengan perut Baba sebagai alas kepala. Ia menyilangkan kakinya. Kami berdua menonton Little Einsteins.

‘Bangun dulu,’ kata Baba setelah acara itu selesai, ‘Baba mau minum.’

Kay bangun dan mengambil wajan kecil alas kepala Baba. Ia mengangkat wajan itu dan menempelkannya di antara tengkuk dan punggung.

Jangan-jangan anak ini mau meniru Baba memakai wajan sebagai alas kepala, nih, pikir Baba agak was-was. Sementara itu Kay masih sibuk berusaha meletakkan wajan pada posisi yang pas.

Tapi kok bukan bagian cembung yang ditempelkan ke tengkuk? Lagipula kok terlalu ke bawah nih, posisinya, pikir Baba lagi. Kay memang menempelkan bagian cekung wajan itu ke bawah tengkuk, lebih dekat ke punggung.

Akhirnya Baba menghampiri Kay dan bertanya, ‘Mau diapakan penggorengannya, Nak?’

Sambil masih memegang wajan tersebut di punggung, Kay menjawab mantap:

‘Kayak kula-kula.’

Tawa Baba pun meledak. Kay mengira Baba sedang menertawakannya. Dengan kesal ia melempar wajan itu.

‘Jangan marah, Nak,’ kata Baba menjelaskan, ‘Baba senang sekali Kay sudah bisa begitu. Baba bangga sekali, Nak.’

Senyum Kay terkembang, marahnya hilang. Ia melompat-lompat kegirangan di paha Baba.

Sakitnya bukan kepalang.

Sentul--Bertingkah Dengan Mike--Pinsil Warna--Duet--'Ada gogok. Beshal.'

Hari ini Kay dan Teteh ikut menemani Baba ke rumah Mas Riza, ada perhelatan kecil di rumahnya, di kawasan Sentul, Bogor.

Seperti biasa, ia menyalami semua orang dengan ramah, meskipun tidak mau turun dari gendongan Baba hingga kami sampai di teras belakang rumah.

‘Lihat ikan,’ kata Kay.

Teras belakang rumah Mas Riza memang dibatasi oleh kolam ikan berisi sekawanan ikan patin, dan beberapa jenis ikan kecil lainnya.

Turun dari gendongan Baba, Kay langsung berjongkok di tepi kolam. Sesekali ia memperhatikan Quenda, si Rottweiler betina melonjak-lonjak dalam kandang. Ia tampak ingin bermain dengan Kay.

‘Memang begitu,’ jelas Mbak Risa, ‘dia senang sama anak-anak, biasa main sama Rian.’

Kay tampak acuh tak acuh memperhatikan polah Quenda. Ia lebih berkonsentrasi pada ikan.

Sejenak kemudian, ia kembali minta gendong. Tepat saat Mas Riza meminta Baba untuk menyanyi. Jadilah Baba menyanyi sambil memangku Kay.

Mula-mula Kay masih belum sadar apa yang Baba lakukan, ia masih asyik memandangi ikan dari balik punggung Baba, tapi pada lagu kedua Kay tahu apa yang sedang terjadi dan meraih mikrofon dan mendekatkannya ke mulut.

‘Yeeeeeee!’ serunya membahana, memancing tawa tetamu.

‘Ashalamualaikum,’ katanya lagi.

Lalu ia terkekeh-kekeh mendengar suaranya sendiri keluar dari loudspeaker.

‘Shatu, shatu aku shayang ibu,’ ia mulai menyanyi.

‘Terus?’ ujar Baba meminta Kay melanjutkan.

‘Yeeeeeee!!!’ serunya.

Lalu ia bersenandung tidak jelas.

Setelah menghabiskan semangkuk mie hijau dengan keju yang diambil dari roti, Kay kembali memamerkan sisi manjanya.

‘Minta gendong shama Baba,’ katanya sambil mengangkat kedua tangan.

Lalu lebih banyak tamu datang. Kay menyalami semua, meskipun ia tidak mau pisah dari gendongan Baba sama sekali. Ia bahkan cenderung marah bila ada yang menawarkan untuk menggendong.

Ternyata ia mengantuk. Setelah bertingkah dengan mike, makan semangkuk mie dan keju, maka Kay pun tertidur di gendongan Baba. Mas Riza mengusulkan agar Kay diletakkan di salah satu kamar di lantai atas agar tidak terganggu bisingnya suara tetamu yang mulai asyik berkaraoke.

Ketika ia bangun, suasana hatinya kurang enak, mungkin karena tidurnya terganggu. Kay menjadi rewel, apalagi ditambah dengan gangguan tak henti-hentinya dari Oom Murat. Padahal Oom Murat hanya ingin mengajak Kay bermain, dan akhirnya berhasil merebut perhatian Kay dengan gantungan kunci dan sekotak pinsil warna bergambar dua ekor burung.

‘Pegang biru!’ perintah Baba.

‘Biru!’ kata Kay sambil memegang pinsil warna biru.

‘Pegang kuning!’

‘Kuning!’ ia menyentuh pinsil warna kuning.

‘Pegang hijau!’

‘Hijau!’ katanya menyentuh pinsil warna hijau.

‘Pegang merah!’

‘Melah!’ katanya tanpa ragu memegang kotak pinsil warna tersebut yang memang berwarna merah.

Tante Sacha dan Oom Murat tertawa.

‘Hebat kamu!’ kata Oom Murat, ‘nggak kepikiran kan kalo dia akan megang kotaknya,’ katanya kepada Tante Sacha.

Kemudian Kay berhasil dibujuk Teteh untuk turun dari gendongan Baba. Kalau tidak salah bujukan itu dalam bentuk sekotak susu cokelat kegemarannya.

Baba menggunakan kesempatan ini untuk mengistirahatkan lengan yang mulai pegal menggendong anak seberat hampir 18 kg itu. Baba ke garasi, bercengkerama dengan beberapa rekan sekantor.

Tiba-tiba terdengar suara tawa dari dalam. Penasaran, Baba melongok dan melihat Mas Riza sedang bernyanyi. Di sebelahnya berdiri seorang lelaki kecil berkaus oranye yang juga memegang mike sambil sesekali bersenandung.

Yes, Gentles, Kay sedang berduet dengan Mas Riza.

‘Hmm-hmm-hmm,’ senandungnya.

‘Aaaaaaaaa,’ katanya.

‘Yeeeeee!!’ serunya.

‘Oo, A, O, O, A!’ katanya mengulangi ritme yang sering disuarakannya sejak bayi.

Baba menghampiri dan berbisik, ‘Bilang selamat siang.’

‘Shelamat shiang,’ kata Kay.

‘Shelamat shiang,’ ulangnya. Para tamu tertawa.

‘Shelamat shole,’ katanya lagi.

Pokoknya hari ini Kay puas bermain-main dengan mikrofon itu.

Tak lama kemudian kami pun berpamitan.

‘Pakde Liza, Kay pulang dulu,’ kata Kay berpamitan dengan Mas Riza.

‘Tante, Kay mau pulang dulu,’ katanya pada Mbak Risa.

‘Hayo bilang apa? Kay sudah makan, sudah main, dan sudah bobo di sini,’ kata Baba.

‘Telimakashih,’ kata Kay.

‘Sekarang mau pulang bilang apa?’

‘Ashalamualaikum,’

Lalu kami masuk ke dalam mobil dan meninggalkan kediaman Mas Riza.

Di perjalanan Kay tak henti-hentinya berkata:

‘Ada gogok. Beshal.’

Jun 16, 2007

Mandi

Seperti biasa Kay selalu sulit dibujuk untuk menyudahi mandinya. Akhirnya Baba menghampiri Kay yang sedang berendam di bak mandi, mengambil gayung dan mulai mengosongkan bak mandi itu agar ada alasan kuat untuk menghentikan mandi Kay.

Baba mulai menciduk air hangat itu.

‘Shama Kelil aja, Ba,’ pinta Kay sambil meraih gayung di tangan Baba. Maksudnya biar dia saja yang menciduk.

Kay lalu meletakkan gayung itu di lantai, dan dengan gelas kecil di tangannya ia mulai menciduk air dan menuangkannya ke dalam gayung.

‘Shatuu,’ katanya menghitung.

‘Duaa,’

‘Tigaa,’

‘Empaat,’

‘Limaa,’

‘Enaam,’

‘Tujuuh,’

‘Delapaan,’

‘Shembilaan,’

‘Shepuluuh,’

‘Shebelaas,’

‘Duabelaas,’

‘Tigabelaas,’

‘Empatbelaas,’

‘Tigabelaas,’ suaranya mengecil, Kay tampak ragu menghitung. Ia lupa setelah empatbelas harusnya limabelas.

‘Empatbelaas,’ suaranya mengeras lagi.

‘Tujuhbelaas,’ katanya yakin.

Jun 12, 2007

'Agel!'

Renyai tawa seorang anak kecil terdengar dari halaman depan rumah. Baba segera ke depan untuk melihat apa yang sedang dilakukan oleh Kay.

‘Gini pegangnya,’ terdengar suara Kakek memberi arahan pada Kay. Sosok Nenek baru saja terlihat keluar dari garasi. Suara air mengucur terdengar.

‘Gini aja ya, pegangnya, jangan digitukan,’ kata Kakek lagi. Rupanya ia sedang mengajarkan Kay memegang slang untuk menyiram tanaman.

Tapi dasar anak iseng, Kay tetap saja sesekali menutup ujung slang, sehingga air muncrat ke mana-mana, membasahi baju dan celananya. Ia tertawa lagi.

Seorang pedagang keliling mendekati kami.

‘Bu, mau beli agar?’ tanyanya pada Nenek.

Sekonyong-konyong Kay melepaskan slang di tangannya. Ia langsung meninggalkan kegiatannya dan menghambur ke si pedagang.

‘Agel!’ serunya.

* * *

‘Lalala-nanana-hmhmhm,’ senandung Kay saat ia melangkah masuk rumah digandeng oleh Nenek.

Di dalam rumah, ia langsung menuju meja makan. Bibi telah menanti dengan segelas teh yang diberi madu sebagai pemanisnya.

‘Ayo minum teh manis dulu,’ kata Bibi.

‘Iya. Belum isi apa-apa udah main air, nanti masuk angin lho,’ tambah Baba.

‘Agel!’ jawab Kay.

Bibi mendudukkan Kay di kursi makan dan menyuapi teh hangat itu. Kay menyeruputnya dengan nikmat, lalu mengambil sendok makan di tangan Bibi.

‘Agel!’ katanya lagi sambil menyendok agar itu dan menyuapkannya ke dalam mulut.

Nenek tersenyum melihat tingkah Kay.

‘Ya ampun,’ kata Baba, ‘pinter amat makan agarnya. Pakai sendok kecil ini aja, ya.’

Beberapa menit kemudian agar-agar itu habis dilalap Kay. Setelah itu Kay menghambur ke kotak mainannya dan mulai bermain-main.

Jun 10, 2007

Keisengan Saat Mandi

Di dalam baknya di kamar mandi, Kay tertawa terbahak-bahak. Ia sedang asyik bermain air bersama Teteh Iis sambil mandi. Teteh mengambil segayung air dan menyiramkannya ke dalam bak, sehingga menimbulkan buih-buih dan gelembung udara.

Baba memperhatikan dari pintu kamar mandi dan mendapatkan ide.

‘Begini Kay,’ kata Baba sambil mengambil gayung dan memasukkannya ke dalam bak dalam posisi telungkup hingga udara terperangkap di dalamnya. Lalu Baba memballikkan gayung itu di dalam air. Udara yang terperangkap dalam gayung itu berhamburan keluar dan membentuk gelembung besar. Kay tertawa-tawa.

Tetapi tenyata ia memiliki ide sendiri.

Ia merebut gayung dari tangan Baba, mengisinya dengan air sampai penuh, dan menyiramkan air itu ke arah Baba sambil tertawa jahil.

Ya ampun, jahilnya anak ini…

'Anti Nyamuk'

Kay sedang asyik bermain di depan rumah, tepatnya di pinggir jalan kompleks, bersama Teteh Iis. Terkadang dia duduk di tembok pembatas jalan, terkadang ia berjalan-jalan tak tentu arah—gembelengan.

Selama bermain itu Kay tak henti-hentinya mengoceh. Apa saja ia ocehkan, mulai dari bersenandung, hingga mencari ayam dan kunci mobil.

‘Kunci Engki mana? Nggak ada? Diambil mpus,’ katanya, menceritakan bahwa kunci mobil kakeknya dibawa oleh kucing entah ke mana.

‘Ayam, patok ni,’ katanya lagi sambil menggerakkan boneka ayam di tangannya ke atas dan ke bawah, menirukan gerakan ayam mematuk.

Sementara di dahi, sekitar mata dan di bawah hidungnya bulir-bulir keringat sebesar biji jagung mulai bermunculan.

‘Di pucuk pohon cempaka/bulung kutilang belnyanyi…./me’angguk-anggukkan kepalanya/lililiiiilililililili...’

Tiba-tiba Kay berjongkok. Tangan kecilnya meraih tanaman liar yang tumbuh di pangkal tembok pembatas jalan itu, dan mencabutnya. Kemudian ia meremas tanaman itu dan mengolesnya ke kaki dan betisnya.

‘Kenapa diusap-usap ke kaki, Kay?’ tanya Baba, ‘supaya kenapa diusap-usap?’

‘Anti nyamuk,’ jawab Kay mantap tanpa mengangkat kepala maupun menghentikan kegiatannya mengoleskan remukan daun itu.

Rupanya ia menirukan nenek yang suka mengusapkan lavender ke kulit agar tidak digigiti nyamuk.

Jun 3, 2007

Jalan-jalan Sore

“Kay di mana, Bi?” tanya Baba seusai mandi sore.

“Di tetangga, tuh. Nggak mau pulang!” kata Bibi bersungut-sungut.

Baba pun bertandang ke tetangga.

“Siapa yang mau ikut Baba?”

Kay segera keluar dan menghambur ke pelukan Baba. “Yuk, kita jalan-jalan,” ujar Baba seraya menggendong anak yang senang bertamu itu.

“Pamit dulu sama Mbak.”

“Mbak, Kay pulang dulu ya,” kata Kay berpamitan.

“Iya Kay, makasih ya udah nemenin Mbak,” jawab si Mbak.

“Dadaaaa!” seru Kay melambaikan tangannya.

Baba menggendong Kay masuk rumah. Setibanya di dalam Baba bertanya, “Mau ke mana kita? Ke Senayan apa ke Pondok Indah aja?”

“Pondok Indah aja, Baba,” jawab Kay.

“OK, kalau gitu ayo siap-siap. Cuci kaki, cuci muka dan ganti bajunya. Bau asam kamu.”

Kegiatan bersih-bersih tubuh itu diwarnai oleh sedikit huru-hara karena Kay sudah tidak sabar dan maunya langsung masuk ke dalam mobil.

Setelah berpakaian dan kembali berada dalam gendongan Baba, Kay segera menunjuk ke garasi.

“Ke shitu!” perintahnya.

Baba membawanya ke garasi.

“Terus ke mana, Nak?” tanya Baba.

“Ke shitu!” jawabnya sambil meraih handel pintu mobil.

“Teteh Iis belum siap. Mau nunggu di mobil aja?”

“Iya, Baba.”

Kay pun masuk ke dalam mobil dan segera mengambil boneka ayam kesukaannya.

Tak lama kemudian kami berangkat menuju Pondok Indah.

Sesampainya di sana Kay tampak gembira sekali. Ia membiarkan tangannya digandeng Baba dan Teteh. Sesekali ia melompat-lompat sambil menoleh ke kiri dan ke kanan melihat-lihat apa saja yang bisa ia lihat.

“Beli sandal ya,” kata Baba, “sandal Kay kan sudah kekecilan.”

Sesudah memilih dan menemukan nomor yang pas, sandal itu langsung dipakai oleh Kay. Gaya sekali dia memakai sandal baru berwarna oranye itu!

Setelah membeli sandal, saat melewati kereta dorong untuk bayi, Kay berhenti.

“Adik,” katanya sambil meraih boneka balita yang didudukkan dalam kereta bayi tersebut. Serta-merta Kay memeluk boneka itu.

“Disayang ya dede-nya?” tanya Teteh.

“Coba sini dulu Kay,” panggil Baba, “pilih nih, mau celana yang mana? Yang biru atau yang coklat?”

Kay memperhatikan kedua celana itu, namun tidak memilih. Ia ngeluyur dan matanya tertumbuk pada tumpukan mainan di dekat counter pakaian anak itu. Tiba-tiba—BRUK!! Sebagian tumpukan mainan itu terjatuh karena Kay seenaknya saja mengambil salah satu mainan tanpa berhati-hati.

“Sepaidelmen,” katanya. Ia memegang mainan berbentuk kepala Spiderman.

“Iya, Spiderman,” kata Baba, “taruh lagi ya, kan kita mau beli celana.”

Akhirnya karena Kay tampak tidak bisa menentukan pilihan, Baba memilihkan celana coklat untuknya.

“Makannya jam berapa nih, Teh?’ tanya Baba.

“Sekarang udah jam berapa?” Teteh balik bertanya.

“Jam lima.”

“Wah, ya sekarang lah makannya.”

Kami makan di salah satu restoran Italia yang ada di sana, karena Kay amat menyukai lasagna. Tapi kenyataannya Kay malah menyikat setengah porsi spaghetti bolognaise milik Teteh Iis dan menyeruput lime squash Baba.

“Asam kan?” kata Baba ketika melihat Kay mengernyit.

“Mau es aja,” katanya meminta es batu dalam gelas Baba.

“Habiskan dulu mamamnya,” jawab Baba. Sebentar kemudian Kay sudah lupa akan es batu karena dia asyik bermain dengan sendok kecil yang—seharusnya—digunakan untuk menyendok keju parmesan parut.

Setelah kenyang, Kay bersandar pada punggung kursi dan melongok ke belakang, memperhatikan lampu yang ada di lantai antara punggung kursi dan dinding.

“Ada apa, Kay?” tanya Baba, “lampu ya?”

“Coba hitung ada berapa lampunya,” pinta Baba.

“Satu—dua—tiga—empat—lima,” jawab Kay mantap.

“Lampunya cuma ada dua, Nak,” koreksi Baba.

“Habis makan kita beli roti untuk besok ya,” kata Baba.

Dalam perjalanan menuju pasar swalayan (yang tentunya masih dalam kompleks mal tersebut) kami mampir sebentar ke toko buku yang berada tepat di sebelah pasar swalayan itu.

Di dalam toko buku, sementara Baba mencari-cari buku, Kay keluyuran ke sana-sini melihat ini dan itu.

“Ada seekol Kancil,” suaranya nyaring memenuhi toko buku, “mau menyebelang sungai.

“Di sungai ada Buaya. Baba mana ya?”

“Di sini, Nak,” jawab Baba sambil mencari-cari arah suara Kay.

Senyumnya mengembang ketika melihat Baba. Di tangannya tergenggam sebuah boneka kura-kura. Kay berlari menghampiri Baba dan langsung “minta gendong sama Baba.”

“Yuk,” ajak Baba, “kita taruh kura-kuranya terus beli roti yuk.”

Kay merajuk.

“Lho, kan kura-kura juga mau istirahat dulu. Lagipula kita kan mau beli roti, nanti kalau kura-kuranya ikut rotinya dimamam kura-kura lho,” bujuk Baba.

Kay menangis, tapi kura-kura itu diletakkan juga olehnya di tumpukan boneka kura-kura. Kami pun keluar toko buku dengan iringan tangisan nyaring seorang Kay.

Di pasar swalayan, Kay meminta turun dari gendongan.

“Mau ambil itu,” katanya sambil meraih sekotak strawberry.

“Strawberry-nya sudah habis ya, Teh?”

“Sudah, yogurtnya juga.”

Setelah membeli persediaan strawberry, yogurt, roti dan selai untuk Kay, kami pun pulang.

Dalam perjalanan Kay menghabiskan sekotak susu coklat dan tampak asyik memperhatikan lampu jalan dan lampu reklame gedung-gedung yang kami lewati.

Setibanya di rumah, Kay yang sudah mengantuk langsung cuci kaki, tangan dan muka. Mengganti pakaiannya dengan piyama, menggosok gigi, lalu—sambil membawa mainan bebek dan ayam—masuk ke dalam kamar.

“Teh, Kay mau bobo dulu, ya,” katanya berpamitan pada Teteh Iis.

Curi Curi Pandang

Keluar dari kamar di pagi hari, Baba mendapatkan Kay berdiri di depan monitor komputer.

“Sedang apa Kay?” Tanya Baba. Beberapa minggu ini Kay sedang belajar menggunakan kata ‘sedang apa’ di sekolahnya, dan akhir-akhir ini dia lebih sering menggunakan pertanyaan itu ketimbang kata ‘ngapain’ yang biasa ia katakana sebelumnya.

“Culi-culi Pandang,” jawab Kay. Ia minta dimainkan lagu Curi-curi Pandang dari band Naif.

Curi-curi Pandang atau Rocker Juga Manusia?” Tanya Baba menggoda. Kay juga suka Rocker Juga Manusia dari Seurieus.

“Culi-culi Pandang aja Baba,”

“OK. Sebentar ya,” pinta Baba seraya menyalakan komputer tersebut. Sejurus kemudian intro lagu permintaan Kay mengalun.

Vjg vjjjjj ‘9pp9psggmmmmggmmmm t xxxxxxxxza

Hehehe…Kay baru saja mengambil alih keyboard dari tangan Baba, saat Mama sedang menelepon.

Back to the topic.

Setelah lagu permintaannya berkumandang, Kay senang sekali.

“Mimi air putih. Pipis,” katanya sambil memeluk lengan Baba erat-erat.

Awalnya Kay menggunakan kata-kata di atas sebagai alasan untuk melepaskan diri dari gelitik Baba, tapi sekarang ia selalu mengatakan dua hal itu ketika sedang over-excited.

Lalu ia mulai bertepuk tangan mengikuti irama dan menari-nari.

Jun 1, 2007

Dongeng

“Ada seekol Kancil...

Mau menyebelang sungai…

Di sungai ada Buaya...

Kakinya digigit Buaya—ADUH!!

‘Sakit, Buaya,’ kata Kancil.”

Demikianlah dongeng a la Kay.