‘Polishi,’ jawab Kay pasti.
Dalam salah satu sesi terapi Kay dia memang diajarkan untuk mengenal benda-benda dan profesi yang ada di sekelilingnya.
‘Kalau ini apa?’
‘Pemadam kebakalan.’
‘Yang ini?’ sang terapis menunjukkan seorang yang mengenakan jas medis.
‘Doktel.’
‘Kalau yang ini apa, Kay?’ tanya Sang Terapis lagi sambil menunjukkan gambar seorang lelaki bertubuh tegap berseragam loreng dan memegang senjata.
Kay memperhatikan sejenak gambar yang baru pertama kali ia lihat itu.
Kemudian tanpa keraguan sedikitpun ia menjawab:
‘Pengamen.’
Sambil menahan tawa Sang Terapis mengoreksi jawaban Kay.
‘Ini bukan pengamen, Kay. Ini tentara.’
‘Telima kashih, Bu,’ kata Kay melanjutkan sambil membungkukkan badannya menirukan pengamen yang baru saja diberi uang.
Beberapa minggu kemudian saat Baba dan Mama sedang mengantarkan Kay sekolah, Ibu Widya, sang terapis bercerita tentang sesi terapi yang baru saja selesai.
‘Sekarang Kay sudah tahu tentara. Tadi begitu saya tunjukkan gambar tentara ia bisa mengenalinya dengan tepat.’
‘Sudah tidak dibilang pengamen lagi ya,’ kata Baba.
‘Tidak. Tapi ketika saya tanya “tentara bawa apa, Kay?” ia menjawab, “Bawa gitar.” Rupanya senjata yang dibawa tentara itu dikira gitar oleh Kay,’ kata Ibu Widya sambil tertawa.
Kay memang anak yang tidak mengenal senjata karena Baba dan Mama memang tidak pernah membelikan senjata mainan dan tidak pula mengijinkan Kay menonton acara-acara (sekalipun dikatakan sebagai acara anak-anak) yang tokoh-tokohnya memiliki senjata. Akibatnya memang ia mengira senjata yang dipegang oleh tentara dalam gambar itu adalah gitar.
Sebelum berangkat sekolah pagi itu, saat Mama sedang menonton BBC World yang menampilkan kebakaran karena kerusuhan di salah satu
‘