‘Halo? Bibi?’
‘Iya, kenapa?’
‘Si Kay lagi ngapain?’
‘Itu lagi main-main,’ kata Bibi di ujung sana, ‘dari tadi nggak bisa diem.’
‘Hahaha,’ Baba tak bisa menahan tawa membayangkan bocah kecil itu berlarian di dalam rumah, ‘Makannya gimana?’
‘Mau,’ jawab Bibi, ‘tadi nambah dua piring.’
‘Hah? Makan pake apaan?’
‘Ya pake itu, bakwan jagung. Bakwannya habis tiga, nasinya dua piring.’
Heran? Iya, kadang-kadang Baba juga heran. Sebagai seorang anak berusia lima tahun Kay hampir tidak memiliki kesulitan makan—memang seringkali makannyadikulum alias diemut, tapi jarang sekali dia menolak makanan.
Sayur-mayur dia suka, terutama sayur bening oyong dan bakwan (atau ‘bawkan’—seperti biasa dia sebut). Wortel dia sangat suka, terutama apabila Mama membuatkan kue wortel (ini sih semua juga suka, hehehe).
Ikan? Jangan ditanya. Mulai dari yang mentah, hingga yang matang. Mulai dari sushi, hingga lele goreng. Telur salmon dalam sushi? Dilahap dengan tidak sabar. Salmon asap? Dipakai makan nasi berbarengan dengan bakwan dan sayur bening. Ikan kembung goreng? Nggak masalah. Ikan mas pepes? Disikat. Ikan pindang? Dilahap. Singkatnya, semua hidangan ikan, asalkan tidak pedas, dia suka. Bahkan kami sering menghalangi dia menambul ikan goreng di meja makan. Bukan apa-apa, karena kami takut dia kekenyangan dan sakit perut. Makan berlebihan juga tidak baik, bukan?
Yang agak sulit adalah ayam dan daging. Bukan karena ia tidak suka, tapi untuk kedua jenis makanan ini Kay harus mendapatkan yang lembut, karena yang keras dan liat sulit dikunyah dan akhirnya diemut.
Bagaimana caranya kami mendidik Kay agar menyukai segala macam jenis makanan ini? Mungkin Mama bisa menjelaskannya dengan lebih baik dari Baba. Take it away, Ma!
Dulu, waktu Kay masih di dalam kandungan, dan Mama lagi senang-senangnya menimba ilmu kanan-kiri soal parenting, ada seorang dokter anak yang membagi tips jitu cara membuat anak menyukai sayuran (dan semua jenis makanan bergizi lainnya). Caranya gampang, kenalkan rasa asli sayuran yang memang punya ‘acquired taste’ tanpa dicampur apapun ketika anak berusia dini (usia mengenal makanan lembut bertekstur). Misalnya alih-alih mencampur semua sayuran dan lauk ke dalam bubur saring, buat bubur saring ikan dengan sayur bayam yang terpisah. Atau buat pure kacang polong atau labu kuning. Wah, kombinasinya bisa seru!
Hasilnya Kay tidak pernah menolak sayuran dan ikan. Kecuali sayur pare dan daun melinjo yang mungkin alpa Mama kenalkan.
Nah, kenapa Kay tidak begitu suka ayam dan daging?
Mungkin selain teksturnya yang kurang dia sukai, karena Baba dan Mama yang waktu Kay masih bayi seringkali tongpes (waduh, rahasia keluarga nih hehehe –Baba). Sehingga perlu dibuat prioritas makanan apa yang harus dibeli dan tidak harus, daripada mengorbankan imunisasi yang tidak di-cover asuransi kantor, hehehe. Nah, kami pikir, ayam kan banyak yang diternakkan dengan menggunakan segala macam hormon penggemuk atau antibiotik, atau daging yang diberi formalin. Dengan protein yang sama bisa didapat dari daging ikan. Di belakang rumah, ada Pak Haji peternak lele dan belut yang masih natural, yang jadi langganan kita. Sementara sumber zat besi dari daging bisa diganti sayuran, kan?
Semuanya ada trade-off-nya. Dan kita sekarang cukup bahagia melihat mata Kay yang berbinar-binar setiap kali melihat tempe yang baru digoreng. Knowing that, banyak protein yang terkandung di dalamnya yang bisa membuat dia tumbuh sehat. Atau, melihat dia melahap sayur sawi berikut batangnya dan toge rebus di bakmi ayam bangka yang kadang-kadang suka kita belikan (yang ini agak nggak sehat, memang).
Kembali ke cerita Baba.
Thanks a lot, Mama. Nah, gitu ceritanya. Repot? Memang, tapi bukankah itu serunya merawat anak? Dan percaya deh, begitu melihat mata yang berbinar, semua kerepotan dan kelelahan akan sirna seketika. Percayalah.
Oh, ya. Ada makanan yang Kay tidak doyan meskipun kemasannya sangat menarik, yaitu: fast food.
No comments:
Post a Comment