Pak Ito pun naik ke atas balok dan melompat. ‘Lihat,’ katanya, ‘Pak Ito nggak apa-apa. Nggak luka. Nggak berdarah. Berarti nggak bahaya kan?’
‘Iya,’ jawab Kay sambil senyum. Ia lalu tidak menolak untuk meloncat, meskipun masih takut dan dibantu dalam meloncat dari balok itu.
Di lain waktu Kay mogok melakukan perintah Pak Ito dan saat diminta dengan agak keras untuk menurut ia menangis. Seperti biasanya ketika menangis, Kay berteriak keras. Pak Ito membiarkan Kay menangis dan berkata, ‘Ya udah, kalau begitu hari ini nggak belajar.’
Lalu Pak Ito melakukan kegiatan lain yang ia tahu akan menarik perhatian Kay. Tak berapa lama kemudian tangisan Kay berhenti. Ia memperhatikan Pak Ito.
‘Pak Ito,’ kata Kay. Pak Ito masih diam.
‘Pak Ito,’ kata Kay lagi.
‘Apa?’ tanya Pak Ito.
‘Belajal,’ jawab Kay.
‘Nggak,’ kata Pak Ito, masih berpura-pura ngambek, ‘hari ini nggak usah belajar.’
Kay memukul lantai dengan marah. Pak Ito masih diam, mengacuhkan Kay.
Kay mendekat, memeluk Pak Ito.
‘Mau belajar?’ tanya Pak Ito.
‘Mau,’ jawab Kay.
‘Kalau mau, ambil bola itu,’ perintah Pak Ito.
Kay bangun dan melaksanakan perintah gurunya.
* * *
‘Itu sering kejadian, Pak,’ jelas Pak Ito pada Baba, ‘dulu saya pernah melakukan kesalahan dengan tertawa saat Kay bertingkah lucu waktu diperintah—dan anak itu kan memang lucu sekali, ya—akhirnya malah ia menggunakan tingkah lakunya sebagai senjata, ia malah jadi sering melucu untuk mengalihkan perhatian saya dari pelajaran. Akhirnya saya acuhkan saja dan menunjukkan muka marah—dan berusaha untuk tidak tertawa—bila ia mulai seperti itu. Kadang-kadang saya sampai harus menghadap tembok, supaya tidak terlihat kalau saya menahan tawa. Kay kan memang lucu anaknya, apalagi waktu itu dia suka menyanyi lagu Sunda yang aki-aki peyot itu.
‘Kalau dia melihat saya sudah menulis, lain lagi ceritanya.’
* * *
Pak Ito menuliskan laporan harian Kay dalam buku penghubung. Kay langsung duduk diam meninggalkan permainannya dan memperhatikan Pak Ito.
‘Udah, main aja,’ perintah Pak Ito.
Kay tetap memperhatikan terapisnya. Lalu ia mendekat, ‘Nulis,’ katanya.
‘Kay mau nulis?’ tanya Pak Ito sambil menyerahkan buku dan pena pada Kay.
‘Nggak,’ kata Kay, tangannya meraih tangan Pak Ito dan mengarahkannya ke buku dan pena, ‘Pak Ito aja.’
* * *
‘Sepertinya Kay heran, karena biasanya kan dia melihat tulisan saya patah patah, karena menunjukkan dia bentuk dan garis. Kok sekarang nyambung dan gerakannya mengalun,’ kata Pak Ito tertawa.