‘Ada itu, lagi makan siang dia,’ jawab Kakek di ujung sana.
‘Mau makannya? Sehat kan dia?’
‘Mau! Sehat kok, jangan khawatir. Senang dia di sini. Dari tadi dia lari-larian aja tuh.’
Yes, Gentles, masa-masa Baba kesepian selama liburan Lebaran datang kembali. Seperti tahun lalu, Kay dititipkan pada Kakek dan Nenek di Subang. Ia sudah ada di sana sejak tanggal 7 Oktober yang lalu dan Baba akan menjemputnya akhir pekan ini.
Waktu berangkat Kay terlihat senang sekali. Duduk sendiri dan melihat-lihat keluar mobil memperhatikan pemandangan dan mobil-mobil lainnya yang berseliweran.
‘Ayam, Baba,’ ujarnya sesekali, memberitakan balon ayam yang ia miliki dan dibawa serta mudik ke Subang.
Balon ayam itu Baba belikan saat ia sedang berkunjung ke dokter sehari sebelum mudik. Begitu ia turun dari mobil, matanya langsung tertuju pada balon berbentuk ayam yang dijual di halaman rumah sakit.
‘Mau ayam itu,’ demikian pintanya. Ia baru mau masuk ke dalam rumah sakit setelah Baba berjanji akan membelikan balon ayam tersebut.
‘Ayo timbang dulu,’ kata suster sambil menyalakan timbangan digital. Kay naik ke atas timbangan dan mulai ikut-ikutan memencet tombol di panel timbangan digital tersebut.
‘Eeh, tidak boleh ikut-ikut mencet,’ kata Baba, ‘berdiri tegap, diam sebentar ya.’
Angka di timbangan menunjukkan bahwa berat Kay kali ini naik lagi menjadi 19 kg. Wah, pantas saja ia terasa makin mantap digendongnya.
Setelah beberapa orang pasien masuk, akhirnya tiba giliran Kay, tepat pada saat ia sedang makan sore.
‘Kenapa ini?’ tanya dokter.
‘Batuk, Dok,’ jawab Baba, ‘mungkin ketularan pengantarnya sekolah.’
‘Wah, kamu kok sakit beratnya naik hampir sekilo?’ tanya dokter kepada Kay. Yang ditanya acuh tak acuh.
Setelah terjadi keributan saat diperiksa dengan stetoskop dan dilihat tenggorokannya (Kay marah-marah dan minta gendong Baba meskipun ia masih mau diperintah membuka mulutnya yang masih dipenuhi makanan), dokter segera menuliskan resep.
Esoknya batuk Kay sudah hampir sembuh, dan kami pun melakukan perjalanan mudik ke Subang.
Sampai di Kalijati, Teteh bertanya pada Kay, ‘Kita mau ke mana ini Kay?’
‘Ke lumah Yangti,’ jawabnya yakin.
‘Bukan,’ kata Teteh, ‘kita mau ke rumah Nenek.’
‘Ke lumah Yangti aja!!!’ katanya merajuk.
Teteh langsung mengalihkan perhatian Kay ke mobil yang lalu lalang.
Sesampainya di rumah Nenek, Kay sudah lupa sama sekali akan ngambeknya. Ia tertawa terkekeh-kekeh di dalam mobil dan langsung berlarian berkeliling ketika ia sudah masuk ke dalam rumah. Ia tentu tidak lupa memberitakan balon ayam yang amat ia banggakan itu.
‘Ayam, Ngki! Ayam, Nenek!’ katanya sambil berkeliling. Balon ayam itu digenggamnya di bagian jengger.
Saking gembiranya ia menolak untuk tidur siang (meskipun akhirnya kelelahan dan tertidur di dipan di depan televisi).
Sore harinya, ia terlihat gembelengan tanpa balon ayam.
‘Ayamnya ke mana Is?’ tanya Baba.
‘Bocor,’ jawab Teteh.
‘Wah, nangis nggak?’
‘Nggak. Soalnya dia yang bikin bocor. Nyangkut di rak piring dan sama dia ditarik paksa, akhirnya jenggernya robek.’
‘Terus gimana?’
‘Dia suruh buang. ”Buang, Teteh” katanya gitu.’
‘Hahaha, pintar. Nggak ngambek,’ puji Baba.
Sorenya Baba kembali ke Jakarta, meninggalkan Kay di rumah Nenek.
Esoknya Nenek melapor pada Baba bahwa Kay sulit tidur dan menolak tidur di dalam kamar. Ia hanya mau bobo di dipan depan televisi. Itupun masih sering terbangun tengah malam. Sepertinya ia kurang nyaman tidak berada di rumahnya.
Hehehe, anak rumahan nih, Ma!
* * *
‘Gimana si Kay? Masih sulit tidurnya?’ tanya Baba saat Baba tiba di Subang kembali sehari sebelum Lebaran.
‘Nggak,’ jawab Kakek, ‘malah udah ngajak ke kamar sekarang.’
‘Wah, bagus!’
Yang dibicarakan sedang asyik berkutat di hadapan white board sambil memegang spidol dan menggambar benang kusut.
‘Gambal ayam shama Baba,’ pintanya.
‘Ini apanya?’ tanya Baba menunjuk ke sudut runcing yang baru saja Baba buat.
‘Patuknya,’ jawab Kay dengan tepat. Baba memang baru saja menggambar patuk si ayam.
Setelah selesai Kay minta digambarkan ikan, dan lagi-lagi dengan tepat bisa menyebutkan bagian ikan yang Baba gambar meskipun gambar keseluruhan belum selesai.
Esok harinya setelah shalat Ied, seperti biasa kami berkunjung ke rumah Uyut Kay. Kay terlihat gaya sekali dengan baju koko berwarna merah dan celana jeans biru.
Di rumah Uyut ia sempat merajuk ketika bertemu Bibi. ‘Mau shama Bibi aja,’ demikian katanya.
Beberapa hari sebelum Lebaran ia juga sempat merajuk ketika mengetahui Teteh Iis akan pulang ke Garut.
‘Mau ikut Teteh ke Galut aja!’ demikian tangisnya. Akhirnya Teteh Iis menangguhkan mudik ke Garut karena tidak tega meninggalkan Kay. Sayang sekali dia pada si Kay!
* * *
‘Palu, Ngki! Palu Nenek! Palu Teteh!’ demikian ujar Kay sambil memegang palu yang digunakan Kakek untuk memperbaiki berbagai macam kerusakan di rumah.
Lalu Kay memukul-mukulkan palu itu ke lantai, ke dinding dan akhirnya, TOOKKKK!!!
Palu itu ia pukulkan ke lutut Kakek.
‘Adddduuuhhh!! Sudah, kamu jangan mainan palu lagi!’ kata Kakek sambil mengambil palu itu dari tangan Kay. Yang dimarahi menangis. Ia masih ingin bermain-main dengan palu itu.
Kakek lalu membuatkan Kay palu palsu dari kayu-kayu sisa yang ada di sekitar rumah, kemudian memberikannya pada Kay yang langsung membuangnya. Ia hanya tertarik pada palu asli.
Wah, kayaknya Baba perlu menjelaskan bahaya palu pada Kay nih kalau sudah ketemu lagi nanti…
No comments:
Post a Comment