‘Kayril?’
‘Ya Baba.’
‘Udah makan belum?’
‘Udah.’
‘Pake apa makannya?’
‘Pake lele.’
‘Nyanyi dong. I’m a little teapot.’
‘Hm-hm, nanana, dudadada. Halo?’
‘Halo Kayril.’
Terdengar suara Teteh Iis memperingatkan Kay bahwa paku bisa menyakitkan kalau menusuk tangan, kemudian menyuruh Kay mandi.
‘Hayu, bilang sama Baba mau mandi!’ perintah Teteh Iis.
‘Baba, mandi dulu ya,’ kata Kay.
‘Iya, Nak,’ jawab Baba.
‘Bilang udah dulu!’ perintah Teteh Iis lagi.
‘Udah dulu yaaa,’ ujar Kay.
‘Iya,’ jawab Baba.
‘Dadaaaaa!’ kata Kay menyudahi pembicaraan.
Nov 27, 2006
Nov 23, 2006
Jempol Kepentok dan Belajar 'baca'
Baba mengintip ke dalam kamar dari jendela depan dan melihat seorang bocah lelaki yang sedang berupaya naik ke tempat tidur ditemani Bibi.
‘Siapa tuh, Kay?’ tanya Bibi sambil menunjuk ke jendela.
Kay mendongak dan tertawa, lalu menghentikan upayanya naik ke tempat tidur dan menghambur keluar kamar.
Tawa riangnya mengantar Baba masuk garasi. Saat membuka sepatu, Baba melihat gagang pintu bergerak-gerak.
‘Sabar,’ suara Teteh Iis terdengar, ‘dibuka dulu kuncinya.’
Klik! Pintu pun terbuka dan seraut wajah berhias senyum lebar muncul. Sedetik kemudian senyum itu berubah menjadi tangisan saat jempol Kay tertumbuk pintu yang sedang ia buka. Asal-asalan, Kay memukul meja yang ada di dekatnya dengan marah.
‘WAAAAAAAA!!!’
‘Udah nggak apa-apa,’ bujuk Baba sambil mengambil susu yang berada di meja, ‘yuk, minum dulu biar tenang sedikit.’
Kay menyeruput susu itu seteguk, lalu melanjutkan tangisnya.
‘Ini, ini, Baba punya apa?’ kata Baba menyodorkan koin.
Kay meraih koin itu dan memasukkannya ke dalam celengan Piggibeng.
Berdasarkan laporan Teteh Iis, Kay sekarang sedang belajar ‘membaca’.
‘Baca apa?’ tanya Baba.
‘Baca “ini Ibu Budi”,’ jawab Teteh Iis.
‘Lho, bukunya dari mana? Kita kan nggak punya?’ tanya Baba heran.
‘Yaa…kalo belajar baca kan bilangnya “ini Ibu Budi”,’ jawab Teteh Iis polos, ‘tadi dia bilang “ini mobil Kay” sambil nunjuk mobilnya,’ lanjutnya.
Baba tersenyum. Ada ada saja.
Kay sudah tenang dan menghentikan tangisannya setelah Bibi mengoleskan Zam-buk ke jempolnya yang tertumbuk pintu. Sekarang ia sedang bermain.
Lamat-lamat terdengar gumaman Kay:
‘Ini cici Budi,’ katanya sambil menunjuk kemaluannya.
‘Ini cici Budi,’ ulangnya lagi.
Waduh! Siapa pula yang mengajarkan ini???
‘Siapa tuh, Kay?’ tanya Bibi sambil menunjuk ke jendela.
Kay mendongak dan tertawa, lalu menghentikan upayanya naik ke tempat tidur dan menghambur keluar kamar.
Tawa riangnya mengantar Baba masuk garasi. Saat membuka sepatu, Baba melihat gagang pintu bergerak-gerak.
‘Sabar,’ suara Teteh Iis terdengar, ‘dibuka dulu kuncinya.’
Klik! Pintu pun terbuka dan seraut wajah berhias senyum lebar muncul. Sedetik kemudian senyum itu berubah menjadi tangisan saat jempol Kay tertumbuk pintu yang sedang ia buka. Asal-asalan, Kay memukul meja yang ada di dekatnya dengan marah.
‘WAAAAAAAA!!!’
‘Udah nggak apa-apa,’ bujuk Baba sambil mengambil susu yang berada di meja, ‘yuk, minum dulu biar tenang sedikit.’
Kay menyeruput susu itu seteguk, lalu melanjutkan tangisnya.
‘Ini, ini, Baba punya apa?’ kata Baba menyodorkan koin.
Kay meraih koin itu dan memasukkannya ke dalam celengan Piggibeng.
Berdasarkan laporan Teteh Iis, Kay sekarang sedang belajar ‘membaca’.
‘Baca apa?’ tanya Baba.
‘Baca “ini Ibu Budi”,’ jawab Teteh Iis.
‘Lho, bukunya dari mana? Kita kan nggak punya?’ tanya Baba heran.
‘Yaa…kalo belajar baca kan bilangnya “ini Ibu Budi”,’ jawab Teteh Iis polos, ‘tadi dia bilang “ini mobil Kay” sambil nunjuk mobilnya,’ lanjutnya.
Baba tersenyum. Ada ada saja.
Kay sudah tenang dan menghentikan tangisannya setelah Bibi mengoleskan Zam-buk ke jempolnya yang tertumbuk pintu. Sekarang ia sedang bermain.
Lamat-lamat terdengar gumaman Kay:
‘Ini cici Budi,’ katanya sambil menunjuk kemaluannya.
‘Ini cici Budi,’ ulangnya lagi.
Waduh! Siapa pula yang mengajarkan ini???
Nov 14, 2006
What Happened Last Night
Baba melangkah ke garasi dan melihat pintu samping terkuak dan sebentuk wajah berhias seringai jenaka melongok, lalu berteriak gembira.
Sedetik kemudian Kay menghambur keluar dan memeluk Baba.
“WAHAHAHAHA!!!” teriaknya.
“Itu buku sampe dilempar begitu denger suara pintu,” kata Bibi.
Kayril lalu mengikuti Baba ke mana pun Baba pergi. Baba ke kamar untuk ganti baju, Kayril ikut; Baba meletakkan baju kotor di keranjang di dapur, Kay ikut; Baba pipis di kamar mandi, Kay menunggu di pintu. Pokoknya dia mengekor Baba terus.
Lalu Baba mengambil piring dan mengisinya dengan nasi.
“Mamam dulu aah…” kata Baba.
“Kay, ini apa?” tanya Baba sambil menunjukkan piring berisi nasi itu pada Kay.
“Mamam,” jawab Kay.
Baba berharap Kay menjawab nasi, untuk melihat apakah ia sudah mengenali nasi atau belum. Baba bertanya lagi, “ini apa?”
“Piling,” jawab Kay.
“Isinya apa?” tanya Baba memancing.
“Nahi,” jawab Kay. Baba tertawa, rupanya dia sudah mengenali nasi.
Kemudian, tanpa diduga sama sekali, Kay menggandeng dan mengajak Baba ke meja makan. Kay berhenti di depan kursi yang biasa diduduki Baba.
“Di hinih,” kata Kay, “Baba duduk di hinih.”
Baba tertawa dan duduk.
“Terus Baba ngapain?” tanya Baba.
“Mamam,” jawab Kay dengan pasti.
“Kay duduk di sini temenin Baba ya…” pinta Baba menunjuk kursi yang lain. Bibi membantu mendudukkan Kay di kursi itu.
“Temenin,” kata Kay. Ia lalu mengambil tutup gelas dan mulai memutar-mutarnya di atas meja makan. Tak lama kemudian tutup gelas itu sudah berada di lantai.
Kay mengusap-usap meja yang basah karena tumpahan air minum, lalu mengelap muka dengan tangannya yang basah. Senyumnya terkembang.
“Ambilin,” pintanya pada Teh Iis sambil menunjuk tutup gelas yang tergeletak di lantai.
Teh Iis mengambil tutup gelas dan memberikannya pada Kay. Kay langsung melempar tutup gelas itu ke lantai.
“Dilem—PAAL!” katanya sambil tertawa.
Selesai makan Baba mengajak Kay berhitung—kata Teh Iis di sekolahnya Kay sudah bisa menghitung sampai 20, Baba mau menguji.
“Satu,” kata Baba memulai.
“Dua,” lanjut Kay.
“Tiga,” sambung Baba.
“Ompat.”
“Lima.”
“Onam.”
“Tujuh.”
“Dolapan.”
“Sembilan.”
“Hopuluh. Hobolas,” kata Kay sekaligus.
“Duabelas,” lanjut Baba.
“Tigabolas.”
“Empatbelas.”
“Limabolas.”
“Enambelas.”
“Tujuhbolas.”
“Delapanbelas,” kata Baba.
“Tigabolas!” sambung Kay dengan keyakinan penuh.
“Hahahahaha! Salah, Nak,” kata Baba, “habis delapanbelas sembilan—?”
Kayril tampak ragu.
“Sembilan—?” tanya Baba memancing.
“Hopuluh, hobolas,” jawab Kay.
“Lhooo, kok ngulang lagi?” kata Baba tertawa.
Kay nyengir dan kabur ke dapur sambil melompat-lompat…
Sedetik kemudian Kay menghambur keluar dan memeluk Baba.
“WAHAHAHAHA!!!” teriaknya.
“Itu buku sampe dilempar begitu denger suara pintu,” kata Bibi.
Kayril lalu mengikuti Baba ke mana pun Baba pergi. Baba ke kamar untuk ganti baju, Kayril ikut; Baba meletakkan baju kotor di keranjang di dapur, Kay ikut; Baba pipis di kamar mandi, Kay menunggu di pintu. Pokoknya dia mengekor Baba terus.
Lalu Baba mengambil piring dan mengisinya dengan nasi.
“Mamam dulu aah…” kata Baba.
“Kay, ini apa?” tanya Baba sambil menunjukkan piring berisi nasi itu pada Kay.
“Mamam,” jawab Kay.
Baba berharap Kay menjawab nasi, untuk melihat apakah ia sudah mengenali nasi atau belum. Baba bertanya lagi, “ini apa?”
“Piling,” jawab Kay.
“Isinya apa?” tanya Baba memancing.
“Nahi,” jawab Kay. Baba tertawa, rupanya dia sudah mengenali nasi.
Kemudian, tanpa diduga sama sekali, Kay menggandeng dan mengajak Baba ke meja makan. Kay berhenti di depan kursi yang biasa diduduki Baba.
“Di hinih,” kata Kay, “Baba duduk di hinih.”
Baba tertawa dan duduk.
“Terus Baba ngapain?” tanya Baba.
“Mamam,” jawab Kay dengan pasti.
“Kay duduk di sini temenin Baba ya…” pinta Baba menunjuk kursi yang lain. Bibi membantu mendudukkan Kay di kursi itu.
“Temenin,” kata Kay. Ia lalu mengambil tutup gelas dan mulai memutar-mutarnya di atas meja makan. Tak lama kemudian tutup gelas itu sudah berada di lantai.
Kay mengusap-usap meja yang basah karena tumpahan air minum, lalu mengelap muka dengan tangannya yang basah. Senyumnya terkembang.
“Ambilin,” pintanya pada Teh Iis sambil menunjuk tutup gelas yang tergeletak di lantai.
Teh Iis mengambil tutup gelas dan memberikannya pada Kay. Kay langsung melempar tutup gelas itu ke lantai.
“Dilem—PAAL!” katanya sambil tertawa.
Selesai makan Baba mengajak Kay berhitung—kata Teh Iis di sekolahnya Kay sudah bisa menghitung sampai 20, Baba mau menguji.
“Satu,” kata Baba memulai.
“Dua,” lanjut Kay.
“Tiga,” sambung Baba.
“Ompat.”
“Lima.”
“Onam.”
“Tujuh.”
“Dolapan.”
“Sembilan.”
“Hopuluh. Hobolas,” kata Kay sekaligus.
“Duabelas,” lanjut Baba.
“Tigabolas.”
“Empatbelas.”
“Limabolas.”
“Enambelas.”
“Tujuhbolas.”
“Delapanbelas,” kata Baba.
“Tigabolas!” sambung Kay dengan keyakinan penuh.
“Hahahahaha! Salah, Nak,” kata Baba, “habis delapanbelas sembilan—?”
Kayril tampak ragu.
“Sembilan—?” tanya Baba memancing.
“Hopuluh, hobolas,” jawab Kay.
“Lhooo, kok ngulang lagi?” kata Baba tertawa.
Kay nyengir dan kabur ke dapur sambil melompat-lompat…
Nov 13, 2006
Sabtu yang Menyenangkan
Akhir minggu bersama Kay selalu menyenangkan. Pada saat itulah Baba mengalami hal-hal baru yang dilakukan Kay.
Sabtu kemarin, pada pagi hari, Baba dan Kay menghirup udara segar pagi hari di beranda depan rumah.
“Istirahat aah,” kata Baba.
“Istilahat,” ulang Kay membeo, “istilahat.”
Senyumnya mengembang saat ia mengulang-ulang kembali kata yang baru didengarnya itu.
“Enak ya, istirahat,” ujar Baba.
“Mmm enaaak!” jawabnya. Tak lama kemudian dia sudah sibuk mengorek-ngorek lubang gerendel pintu di tanah.
“Lho, jangan dong,” kata Baba, “kotor kan?”
Kay menginspeksi telunjuknya dengan seksama.
“Tuh, kotor kan? Ada pasirnya,” kata Baba.
“Pahil,” ulang Kay, “pahil.”
“Sudah, istirahat lagi,” kata Baba.
Kay duduk kembali.
“Baba duduk!” perintahnya.
“Duduk di mana?” tanya Baba.
“Di hitu,” katanya sambil menepuk lantai persis di sebelahnya, “istilahat.”
Baba tertawa dan duduk di sisi Kay.
“Kotawa,” katanya, “Ha-ha-ha.”
Sabtu kemarin, pada pagi hari, Baba dan Kay menghirup udara segar pagi hari di beranda depan rumah.
“Istirahat aah,” kata Baba.
“Istilahat,” ulang Kay membeo, “istilahat.”
Senyumnya mengembang saat ia mengulang-ulang kembali kata yang baru didengarnya itu.
“Enak ya, istirahat,” ujar Baba.
“Mmm enaaak!” jawabnya. Tak lama kemudian dia sudah sibuk mengorek-ngorek lubang gerendel pintu di tanah.
“Lho, jangan dong,” kata Baba, “kotor kan?”
Kay menginspeksi telunjuknya dengan seksama.
“Tuh, kotor kan? Ada pasirnya,” kata Baba.
“Pahil,” ulang Kay, “pahil.”
“Sudah, istirahat lagi,” kata Baba.
Kay duduk kembali.
“Baba duduk!” perintahnya.
“Duduk di mana?” tanya Baba.
“Di hitu,” katanya sambil menepuk lantai persis di sebelahnya, “istilahat.”
Baba tertawa dan duduk di sisi Kay.
“Kotawa,” katanya, “Ha-ha-ha.”
* * *
Menjelang bobo siang, saat sudah berada di tempat tidur dan mengucapkan doa, Kay bangkit dan memegang teralis jendela. Kemudian ia mulai melompat-lompat.
Beberapa menit kemudian Kay berhenti melompat.
“Cape,” katanya terengah-engah. Kemudian ia mulai melompat-lompat lagi selama beberapa menit, lalu ia tertidur.
Setengah jam kemudian ia terbangun karena ngompol dan menolak untuk tidur kembali.
* * *
“Mama, bobo dulu yaaaa!” ucap Kay lantang ke gagang telepon, lalu memberikan telepon itu ke Baba. Ia sudah mengenakan piyama dan bersiap untuk bobo.
“Sebelum bobo kita ber--?” terdengar suara Mama bertanya.
“Sudah kabur anaknya,” jawab Baba.
“Lucu sekali sih, suaranya,” kata Mama di ujung sana.
“Heheh, cempreng ya?” kata Baba, “udah dulu ya, Ma. Aku mau kelonin dia dulu.”
Kay sudah membuka pintu kamar dan melangkah masuk saat Baba menutup telepon. Baba menyusul masuk dan mengangkat Kay untuk membantunya naik ke tempat tidur yang masih terlalu tinggi untuk dia panjat.
“Mau dilempar?” tanya Baba. Kay tersenyum lebar.
“Iya,” jawabnya.
“Satu…” kata Baba.
“Dua…” lanjut Kay.
“Tiiiiii--?”
“Gaaa!”
Dan Baba melemparkan Kay ke atas tempat tidur, tawanya meledak.
“Baba hokalang!” katanya.
Dan Baba pun melompat ke tempat tidur, membuat Kay terbahak-bahak dan melenting-lentingkan badannya dengan gembira.
“Udah bobo beluuum?” terdengar suara Teteh Iis dari luar jendela.
“HUAAAAAHAHAHA!!!” teriak Kay panik, tergopoh-gopoh ia merangkak memeluk Baba sambil tertawa.
“Takut,” katanya.
“Takut apa?” tanya Baba tertawa, “itu kan Teh Iis.”
“Kotawa,” kata Kay sambil kembali merebahkan diri di tempat tidur.
“Kay, masih inget lagu I’m a Little Teapot nggak?” tanya Baba, “I’m a little teapot, short and--?” Baba mulai menyanyikan lagu itu.
Tiba-tiba Kay bangkit dan berdiri tegak di tempat tidur--membuat Baba agak panik, takut ia jatuh--lalu menyanyikan lagu itu sampai habis sambil memperagakan tarian Little Teapot.
I’m a little teapot, short and stout (ia menekuk kedua tangannya di pinggang, menggambarkan teko gemuk dan pendek.)
Here is my handle; here is my spout (sebelah tangannya bertolak pinggang, sebelah lagi diacungkan ke atas. Di sini ia agak bingung, sebelah mana yang harus di pinggang, sebelah mana yang mengacung.)
When the water’s boiling hear me shout! (kedua tangannya diacungkan ke atas sekuat tenaga.)
Lift me up and pour me out! (wajahnya bingung, ia lupa gerakan terakhir ini. Seharusnya satu tangan di pinggang, dan satu lagi teracung, lalu badannya dibungkukkan menirukan gerakan teko yang sedang dituang.)
(tentu saja Kay tidak menyanyikan lagu ini dengan sejelas itu, tapi kalau di sini Baba menuliskan sesuai dengan yang diucapkan Kay, kalian yang akan kebingungan.)
Baba bertepuk tangan memuji kepandaian Kay. Ia tertawa-tawa dan kembali berbaring.
“Ayo, berdoa dulu!” perintah Baba.
Kay mengucapkan doa untuk kedua orang tua, lalu doa tidur (yang mulai agak dilupakan) lalu memeluk leher Baba dan tidur.
Nov 10, 2006
Kebiasaan dan Kebisaan Baru
“Gosok-gosok tangannya!”
Si Bocah Periang itu menggosok-gosok tangannya, sambil tersenyum lebar tentunya. Lalu tanpa ragu-ragu langsung menggosokkan kedua tangannya ke rambut.
“Kolamas, pake hampo,” katanya, lalu berlari menghambur keluar kamar.
Si Bocah Periang itu menggosok-gosok tangannya, sambil tersenyum lebar tentunya. Lalu tanpa ragu-ragu langsung menggosokkan kedua tangannya ke rambut.
“Kolamas, pake hampo,” katanya, lalu berlari menghambur keluar kamar.
* * *
Akhir-akhir ini Kay punya kebiasaan baru, jalan-jalan sore hari bersama Kakek, “liyat angha,” katanya.
“Dideketin angsanya,” kata Kakek, “tapi kalo angsanya mendekat, dia lari ketakutan.”
Kemarin karena Baba pulang cepat untuk persiapan ulang tahun Uwa, Baba bertemu Kay pada saat ia pulang dari jalan-jalan melihat ‘angha’.
“Kayril,” panggil Baba. Kay menoleh dan berteriak girang.
“Baba!”
Lalu ia menghambur, memeluk Baba dan menggandeng tangan Baba sampai rumah.
Di tengah jalan Kay melepas gandengan sebentar untuk memegang jenggot Opung Harahap.
“Di sana dia lihat angsa, begitu sampai sini ini yang diincar,” kata Opung Harahap tertawa.
Nov 8, 2006
Mati Lampu
Gelak tawa seorang bocah mengiringi cahaya yang memancar dari halaman rumah dua malam yang lalu saat Baba berjalan pulang dalam gelap karena satu kompleks mati lampu.
Beberapa langkah dari rumah Baba melihat bahwa kegembiraan itu bersumber dari sebatang kembang api yang dinyalakan Kakek untuk menghibur sang cucu.
Baba memberi salam, Kay makin kegirangan dan segera membuka pintu gerbang.
“Kembang api!” katanya pada Baba, senyumnya terkembang selebar mungkin. Ia memperhatikan kembang api tersebut dengan kagum dan takjub hingga habis.
“Lagi ya,” pintanya pada kakek. Dan halaman rumah kami pun kembali benderang diterangi nyala kembang api lagi dan lagi.
Sewaktu kembang api itu akhirnya benar-benar habis, Kay kecewa dan merengek. Untungnya sebelum ia sempat menangis listrik menyala kembali dan kami berhasil mengalihkan perhatiannya.
“Horeee! Lampunya nyala!” sorak kami. Dan Kay pun melupakan kesedihannya.
Beberapa langkah dari rumah Baba melihat bahwa kegembiraan itu bersumber dari sebatang kembang api yang dinyalakan Kakek untuk menghibur sang cucu.
Baba memberi salam, Kay makin kegirangan dan segera membuka pintu gerbang.
“Kembang api!” katanya pada Baba, senyumnya terkembang selebar mungkin. Ia memperhatikan kembang api tersebut dengan kagum dan takjub hingga habis.
“Lagi ya,” pintanya pada kakek. Dan halaman rumah kami pun kembali benderang diterangi nyala kembang api lagi dan lagi.
Sewaktu kembang api itu akhirnya benar-benar habis, Kay kecewa dan merengek. Untungnya sebelum ia sempat menangis listrik menyala kembali dan kami berhasil mengalihkan perhatiannya.
“Horeee! Lampunya nyala!” sorak kami. Dan Kay pun melupakan kesedihannya.
Nov 2, 2006
Come To My Arms, My Beamish Boy!
Seperti biasa, pulang kantor Baba memasukkan mobil ke dalam garasi dan menutup pintu garasi.
Tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda.
Baba mendengar suara ‘klik’ pintu samping terbuka dan seorang bocah cilik menyembulkan kepala berhias sebuah cengiran khas. Lalu tanpa buang waktu ia langsung menghambur keluar—hampir jatuh tersandung sandal—dan langsung memeluk Baba.
Yes, Gentles, Kay sudah pulang dari libur Lebarannya di Subang.
Tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda.
Baba mendengar suara ‘klik’ pintu samping terbuka dan seorang bocah cilik menyembulkan kepala berhias sebuah cengiran khas. Lalu tanpa buang waktu ia langsung menghambur keluar—hampir jatuh tersandung sandal—dan langsung memeluk Baba.
Yes, Gentles, Kay sudah pulang dari libur Lebarannya di Subang.
“Come to my arms, my beamish boy!
O frabjous day! Callooh! Callay!”
He chortled in his joy*
Tanpa buang waktu lagi, Baba langsung menggendongnya. Badannya terasa mantap. Sehat sekali tampaknya anak ini! Pipinya kemerahan, senyumnya terkembang, meskipun matanya setengah tertutup menahan kantuk.
“Sudah mau tidur itu,” kata Nenek, “tapi begitu dengar suara mobil dia langsung turun dari tempat tidur dan teriak ‘Baba!’”
Kay tidak melepaskan pandangannya dari wajah Baba.
“Nggak pake popok dia sekarang,” jelas Nenek lagi, “sebelum tidur udah disuruh pipis dulu, kemarin di Subang mah nggak ngompol.”
“Wah, hebat dong!” kata Baba, “sudah gosok gigi, Nek?”
“Belum.”
Baba menggosok gigi Kay dan mengajaknya ke kamar.
“Ayo, bilang dulu,” perintah Baba.
“Ngki, bobo ya,” kata Kay sambil mencium tangan Kakek.
“Sekarang ke Nenek,” perintah Baba lagi.
“Nenek, bobo dulu ya,” Kay mencium tangan Nenek.
Lalu kami masuk ke kamar. Seperti biasa, Kay naik ke tempat tidur dengan cara special, dengan ‘dilempar’ oleh Baba. Ia tertawa geli dan senang.
“Baba hokalang,” katanya meminta Baba melompat ke tempat tidur. Baba pun melompat, mengguncang tempat tidur dan membuat Kay kegirangan.
Lalu ia memeluk leher Baba. “Nelengnengkung,” katanya sambil memejamkan mata. Baba menyanyikan lagu kesayangan itu. Lagu manjanya Kay.
“Ayo, berdoa dulu,” pinta Baba. Kami pun berdoa bersama, doa tidur dan doa untuk orang tua. Lalu Kay tertidur tanpa popok. Tanpa popok!
Terus terang Baba agak was-was dan beberapa kali terbangun malam harinya, tapi ternyata kekhawatiran Baba tak beralasan, karena pada pagi harinya Kay terbangun di tempat tidur yang masih kering.
Yes, Gentles, Kay tidak ngompol! Unbelievable! Ia sudah makin pintar sekarang. Baba bangga sekali.
“Pipis,” katanya waktu terbangun. Nenek langsung membawanya ke kamar mandi dan ia pipis di sana.
He really is a good boy, Ma!
* diambil dari puisi Jabberwocky karya Lewis Carroll.
Subscribe to:
Posts (Atom)