“Kay di mana, Bi?” tanya Baba seusai mandi sore.
“Di tetangga, tuh. Nggak mau pulang!” kata Bibi bersungut-sungut.
Baba pun bertandang ke tetangga.
“Siapa yang mau ikut Baba?”
Kay segera keluar dan menghambur ke pelukan Baba. “Yuk, kita jalan-jalan,” ujar Baba seraya menggendong anak yang senang bertamu itu.
“Pamit dulu sama Mbak.”
“Mbak, Kay pulang dulu ya,” kata Kay berpamitan.
“Iya Kay, makasih ya udah nemenin Mbak,” jawab si Mbak.
“Dadaaaa!” seru Kay melambaikan tangannya.
Baba menggendong Kay masuk rumah. Setibanya di dalam Baba bertanya, “Mau ke mana kita? Ke Senayan apa ke Pondok Indah aja?”
“Pondok Indah aja, Baba,” jawab Kay.
“OK, kalau gitu ayo siap-siap. Cuci kaki, cuci muka dan ganti bajunya. Bau asam kamu.”
Kegiatan bersih-bersih tubuh itu diwarnai oleh sedikit huru-hara karena Kay sudah tidak sabar dan maunya langsung masuk ke dalam mobil.
Setelah berpakaian dan kembali berada dalam gendongan Baba, Kay segera menunjuk ke garasi.
“Ke shitu!” perintahnya.
Baba membawanya ke garasi.
“Terus ke mana, Nak?” tanya Baba.
“Ke shitu!” jawabnya sambil meraih handel pintu mobil.
“Teteh Iis belum siap. Mau nunggu di mobil aja?”
“Iya, Baba.”
Kay pun masuk ke dalam mobil dan segera mengambil boneka ayam kesukaannya.
Tak lama kemudian kami berangkat menuju Pondok Indah.
Sesampainya di sana Kay tampak gembira sekali. Ia membiarkan tangannya digandeng Baba dan Teteh. Sesekali ia melompat-lompat sambil menoleh ke kiri dan ke kanan melihat-lihat apa saja yang bisa ia lihat.
“Beli sandal ya,” kata Baba, “sandal Kay kan sudah kekecilan.”
Sesudah memilih dan menemukan nomor yang pas, sandal itu langsung dipakai oleh Kay. Gaya sekali dia memakai sandal baru berwarna oranye itu!
Setelah membeli sandal, saat melewati kereta dorong untuk bayi, Kay berhenti.
“Adik,” katanya sambil meraih boneka balita yang didudukkan dalam kereta bayi tersebut. Serta-merta Kay memeluk boneka itu.
“Disayang ya dede-nya?” tanya Teteh.
“Coba sini dulu Kay,” panggil Baba, “pilih nih, mau celana yang mana? Yang biru atau yang coklat?”
Kay memperhatikan kedua celana itu, namun tidak memilih. Ia ngeluyur dan matanya tertumbuk pada tumpukan mainan di dekat counter pakaian anak itu. Tiba-tiba—BRUK!! Sebagian tumpukan mainan itu terjatuh karena Kay seenaknya saja mengambil salah satu mainan tanpa berhati-hati.
“Sepaidelmen,” katanya. Ia memegang mainan berbentuk kepala Spiderman.
“Iya, Spiderman,” kata Baba, “taruh lagi ya, kan kita mau beli celana.”
Akhirnya karena Kay tampak tidak bisa menentukan pilihan, Baba memilihkan celana coklat untuknya.
“Makannya jam berapa nih, Teh?’ tanya Baba.
“Sekarang udah jam berapa?” Teteh balik bertanya.
“Jam lima.”
“Wah, ya sekarang lah makannya.”
Kami makan di salah satu restoran Italia yang ada di sana, karena Kay amat menyukai lasagna. Tapi kenyataannya Kay malah menyikat setengah porsi spaghetti bolognaise milik Teteh Iis dan menyeruput lime squash Baba.
“Asam kan?” kata Baba ketika melihat Kay mengernyit.
“Mau es aja,” katanya meminta es batu dalam gelas Baba.
“Habiskan dulu mamamnya,” jawab Baba. Sebentar kemudian Kay sudah lupa akan es batu karena dia asyik bermain dengan sendok kecil yang—seharusnya—digunakan untuk menyendok keju parmesan parut.
Setelah kenyang, Kay bersandar pada punggung kursi dan melongok ke belakang, memperhatikan lampu yang ada di lantai antara punggung kursi dan dinding.
“Ada apa, Kay?” tanya Baba, “lampu ya?”
“Coba hitung ada berapa lampunya,” pinta Baba.
“Satu—dua—tiga—empat—lima,” jawab Kay mantap.
“Lampunya cuma ada dua, Nak,” koreksi Baba.
“Habis makan kita beli roti untuk besok ya,” kata Baba.
Dalam perjalanan menuju pasar swalayan (yang tentunya masih dalam kompleks mal tersebut) kami mampir sebentar ke toko buku yang berada tepat di sebelah pasar swalayan itu.
Di dalam toko buku, sementara Baba mencari-cari buku, Kay keluyuran ke sana-sini melihat ini dan itu.
“Ada seekol Kancil,” suaranya nyaring memenuhi toko buku, “mau menyebelang sungai.
“Di sungai ada Buaya. Baba mana ya?”
“Di sini, Nak,” jawab Baba sambil mencari-cari arah suara Kay.
Senyumnya mengembang ketika melihat Baba. Di tangannya tergenggam sebuah boneka kura-kura. Kay berlari menghampiri Baba dan langsung “minta gendong sama Baba.”
“Yuk,” ajak Baba, “kita taruh kura-kuranya terus beli roti yuk.”
Kay merajuk.
“Lho, kan kura-kura juga mau istirahat dulu. Lagipula kita kan mau beli roti, nanti kalau kura-kuranya ikut rotinya dimamam kura-kura lho,” bujuk Baba.
Kay menangis, tapi kura-kura itu diletakkan juga olehnya di tumpukan boneka kura-kura. Kami pun keluar toko buku dengan iringan tangisan nyaring seorang Kay.
Di pasar swalayan, Kay meminta turun dari gendongan.
“Mau ambil itu,” katanya sambil meraih sekotak strawberry.
“Strawberry-nya sudah habis ya, Teh?”
“Sudah, yogurtnya juga.”
Setelah membeli persediaan strawberry, yogurt, roti dan selai untuk Kay, kami pun pulang.
Dalam perjalanan Kay menghabiskan sekotak susu coklat dan tampak asyik memperhatikan lampu jalan dan lampu reklame gedung-gedung yang kami lewati.
Setibanya di rumah, Kay yang sudah mengantuk langsung cuci kaki, tangan dan muka. Mengganti pakaiannya dengan piyama, menggosok gigi, lalu—sambil membawa mainan bebek dan ayam—masuk ke dalam kamar.
“Teh, Kay mau bobo dulu, ya,” katanya berpamitan pada Teteh Iis.