Kay sedang asyik bermain di depan rumah, tepatnya di pinggir jalan kompleks, bersama Teteh Iis. Terkadang dia duduk di tembok pembatas jalan, terkadang ia berjalan-jalan tak tentu arah—gembelengan.
Selama bermain itu Kay tak henti-hentinya mengoceh. Apa saja ia ocehkan, mulai dari bersenandung, hingga mencari ayam dan kunci mobil.
‘Kunci Engki mana? Nggak ada? Diambil mpus,’ katanya, menceritakan bahwa kunci mobil kakeknya dibawa oleh kucing entah ke mana.
‘Ayam, patok ni,’ katanya lagi sambil menggerakkan boneka ayam di tangannya ke atas dan ke bawah, menirukan gerakan ayam mematuk.
Sementara di dahi, sekitar mata dan di bawah hidungnya bulir-bulir keringat sebesar biji jagung mulai bermunculan.
‘Di pucuk pohon cempaka/bulung kutilang belnyanyi…./me’angguk-anggukkan kepalanya/lililiiiilililililili...’
Tiba-tiba Kay berjongkok. Tangan kecilnya meraih tanaman liar yang tumbuh di pangkal tembok pembatas jalan itu, dan mencabutnya. Kemudian ia meremas tanaman itu dan mengolesnya ke kaki dan betisnya.
‘Kenapa diusap-usap ke kaki, Kay?’ tanya Baba, ‘supaya kenapa diusap-usap?’
‘Anti nyamuk,’ jawab Kay mantap tanpa mengangkat kepala maupun menghentikan kegiatannya mengoleskan remukan daun itu.
Rupanya ia menirukan nenek yang suka mengusapkan lavender ke kulit agar tidak digigiti nyamuk.
No comments:
Post a Comment