It has been a very tiresome and taxing week for me that I barely found time to update My Day with Kay. Kay had been ill, and juggling my physical and psychological strength between tending Kay’s illness, my work and the beginning of Ramadhan really put me to the test.
In the following entry I will try to enlighten you, Gentles, by recounting what had happened as minutely as my memory permits.
Sabtu, 23 September 2006:
Baba terbangun dini hari (sekitar pukul satu pagi) dan mendapatkan suhu badan Kay meninggi.
Sore harinya Baba dan Nenek (plus Teteh Iis tentunya) berangkat ke rumah sakit. Diagnosa dokter pada saat itu adalah Kay terkena serangan batuk pilek atau istilah kerennya, infeksi viral pada saluran pernapasan atas. Memang selama seminggu Kay sudah batuk-batuk dan baru saja menghabiskan obat batuk dari dokter sebelumnya.
Karena pada saat di dokter Kay demam tinggi (390 C) ia diberikan obat penurun panas melalui anusnya.
Sesampainya di rumah, panas Kay menurun.
Kay dikunjungi Paman, Bibi dan sepupunya dari Medan. Ia senang sekali dengan Kakak Ika-nya yang tak henti-hentinya dipeluk dan dielus rambutnya.
Kay tertidur di sebelah Kakak Ika sambil ditepuk-tepuk oleh Bibi Butet.
Minggu, 24 September 2006:
Suhu badan Kay naik turun, dan obat panas dari dokter tidak memberikan efek yang memuaskan.
Sorenya Uwa Imel dan Uwa Sonny datang bersama Andung dan Bang Reyhan. Mereka menganjurkan agar memberikan obat panas dokter dan Tempra secara berselang setiap 4 jam sekali.
Kay dengan manjanya memeluk Uwa Imel erat-erat.
Senin, 25 September 2006:
Menjelang sahur suhu tubuh Kay kembali naik. Telinganya memerah dan ia meminimalisir kegiatannya.
Meskipun demikian, setelah obat penurun panas beraksi membuat suhunya turun, Kay tidak mau istirahat. Ia langsung berlari-larian dan berlompat-lompatan dan nggak mau diam sampai suhunya naik lagi.
Sorenya kami ke dokter di Bintaro. Di klinik Kay dikunjungi Engkong, tapi Kay sama sekali tidak mau lepas dari gendongan Baba. Bahkan Baba tidak diijinkan Kay untuk duduk. Manja sekali…
Dokter mengatakan obat yang diberikan diteruskan saja, dan bila besok sore suhunya masih belum turun Kay harus tes darah, karena kuatir serangan demam berdarah.
Malamnya Baba nyaris tidak tidur meskipun Kay tidak demam lagi.
Selasa, 26 September 2006:
Paginya Kay membaik, ia sudah mulai mau bermain-main dan makan cukup banyak.
Dari kantor Baba telepon dan kata Teteh Iis dia sudah mulai berkeringat, suatu pertanda baik.
Sorenya Kay demam lagi, Baba segera pulang dan membawa Kay ke laboratorium rumah sakit Bintaro setelah berbuka puasa. Hasil tes darah segera Baba laporkan pada dokter yang memang praktik di sana hari itu. Menurut dokter jumlah trombositnya masih baik, tapi kalau dalam dua hari ke depan masih demam, harus tes darah lagi.
Rabu, 27 September 2006:
Baba di kantor hanya setengah hari karena Nenek melaporkan Kay demam lagi dan lemas, seharian ini ia hampir tidak turun dari gendongan atau tempat tidur dan hampir selalu tidur, nyaris tidak mau makan apa-apa.
Sorenya kami kembali ke dokter yang kaget karena Kay lemas sekali, padahal biasanya berontak kalau diperiksa olehnya. Dokter menganjurkan untuk melakukan tes darah lagi.
Seperti biasa anak pemberani ini tidak menitikkan sebutir air mata saat jarum menembus kulit jarinya.
Hasil tes darah kurang memuaskan, karena trombosit Kay turun. Dokter tampak khawatir dan menganjurkan untuk tes darah lagi keesokan paginya.
“Kalau ada kecenderungan turun, berarti dia harus dirawat ya,” demikian kata dokter. “Berikan saja dia minum yang banyak, karena kelihatan di sini kekentalan darahnya cukup tinggi,” tambahnya.
“Ruamnya gimana Dok?” tanya Baba khawatir.
“Bukan, ini bukan ruam demam berdarah. Ruam demam berdarah itu seperti ujung jarum, ini terlalu besar. Tapi tetap saja kita harus hati-hati,” jelas dokter.
Setelah dari dokter kami menyempatkan diri ke acara tujuh bulan kehamilan Bibi Ois. Kay segera meminta gendong Bibi Ois begitu ia melihat bibinya itu. Kay bobo dikeloni Bibi Ois.
Malamnya setiap jam Baba membangunkan Kay dan memberinya minum air dan Pocari Sweat. Kay minum cukup banyak, antara jam 22:00 hingga sahur Kay menghabiskan lebih dari 2 gelas air dan ¾ kaleng Pocari Sweat.
Kamis, 28 September 2006:
Sekitar jam 08:30 Kay tes darah lagi. Saat hasilnya keluar, Baba mengatakan ke suster bahwa dokter minta segera diberi tahu akan hasil tes darah itu.
Sementara menunggu pihak rumah sakit menghubungi dokter Kay mengamuk. Ia tidak mau berada dalam gedung rumah sakit.
“Buka-buka, ya…” katanya di hadapan pintu otomatis rumah sakit. “Ke hitu…” jawabnya ketika ditanya mau ke mana. Terpaksa Baba menggendong Kay keluar rumah sakit dan berdiri menunggu di pinggir jalan. Selangkah saja Baba mengarah ke dalam rumah sakit, maka Kay akan menangis dan menyentakkan tubuhnya ke arah berlawanan.
Akhirnya Baba berhasil membujuk Kay masuk rumah sakit bertepatan dengan berhasilnya pihak rumah sakit menghubungi dokter.
“Hasilnya masih bagus, ya,” kata dokter.
“Tapi kan trombositnya turun lagi dok, sekarang ke angka 150,” bantah Baba.
“Iya, tapi itu nggak apa-apa, lekositnya sudah naik ke batas normal dan pengentalan darahnya mengurang,” jelas dokter, “jadi nggak perlu dirawat,” tambahnya.
Saat itu sebuah beban berat terangkat dari pundak Baba dan Baba memutuskan untuk tidak masuk kantor hari itu untuk menjaga Kay.
“Kalau sore panas, besok pagi tes darah lagi ya,” kata dokter menutup pembicaraan.
Sesampainya di rumah Kay menghabiskan sebutir alpukat dan tidur selama 3 jam. Bangun dari tidurnya ia sudah mulai mau makan meskipun sedikit.
Ruam merah di sekujur tubuh Kay masih tetap membuat Baba dan Nenek khawatir. Baba menelepon Bude untuk menanyakan ciri-ciri ruam demam berdarah dan Bude menjelaskan bahwa ruam demam berdarah itu berwarna merah terang, bukan merah muda seperti gigitan nyamuk.
Nenek memanggil tetangga yang mengkonfirmasikan bahwa ruam di sekujur tubuh Kay adalah ruam tampek.
Sorenya Kay menghabiskan dua piring kecil penuh bubur nasi.
Sepanjang malam, meskipun Baba masih waswas dan memberikan Kay Pocari Sweat setiap dua jam sekali, tanda-tanda demam akan menyerang sudah tidak ada sama sekali. Kay mulai terlihat aktif bermain di tempat tidur sebelum bobo. Kay bahkan tertidur bermandikan keringat…
Hari ini:
Kay terbangun saat sahur dan Nenek memberikan dia bubur nasi yang ia habiskan sebanyak 1½ piring kecil, kemudian ia bobo lagi.
Paginya, meskipun masih sempoyongan ia mulai menjelajah dan mengikuti Baba ke manapun Baba pergi, sambil memegang gantungan kunci Hush Puppies kesukaannya.
Sebelum Baba berangkat ke kantor Kay sudah menghabiskan sepiring kecil bubur nasi, dan segelas air madu.
Di kantor Baba menelepon rumah dan Nenek menjelaskan bahwa Kay baru saja tertidur setelah menghabiskan satu buah alpukat kesukaannya. Ia tidur dikeloni Engki yang selama beberapa hari ini selalu ia hindari…
Gentles, words cannot express the anxiety and fear that gripped me during the days described above. And I will always be indebted to all people who helped me (and help me still) during the hard days: Bibi Eni who treated Kay as her own son; Teteh Iis who barely had time to rest preparing everything for the multiple trips to the doctor and hospital; Nenek and Engki, for their enduring patient and calmness during my bouts of worries; Doctors B and H; and last but by no means least: Mama, for her trust, her unwavering confident and her unsurpassable support in me, although I know that these last few days must’ve been hellish for her also. Thank you all.
Sep 29, 2006
Sep 20, 2006
Celoteh Pagi Hari
Celotehan seorang bocah lelaki berusia tiga tahun yang terdengar di pagi hari ketika Baba masih bergulat dengan kantuk…
“Biiiiii! Mimi Biiiii,”
“Iiiiis, kupu-kupu….”
“Huss! Sana! ñamuk nakal!”
“Nakal!”
“Nakal.”
“Huss! Pus nakal! Huss!”
“Hole! Hole! Aku naik kelas!”
“Mamam. Lapal.”
“Baba!” telunjuknya terasa menekan punggung Baba.
“Mama!”
“Hwedia.”
“Hokolah.”
“Ayam!”
“Ini kakiña!”
“Ko hitu, ko dopan.”
“Pipis.”
Dan Baba terbangun memandang genangan pipis dan sekelebat sosok mungil melaju menuju ruang tamu…
“Biiiiii! Mimi Biiiii,”
“Iiiiis, kupu-kupu….”
“Huss! Sana! ñamuk nakal!”
“Nakal!”
“Nakal.”
“Huss! Pus nakal! Huss!”
“Hole! Hole! Aku naik kelas!”
“Mamam. Lapal.”
“Baba!” telunjuknya terasa menekan punggung Baba.
“Mama!”
“Hwedia.”
“Hokolah.”
“Ayam!”
“Ini kakiña!”
“Ko hitu, ko dopan.”
“Pipis.”
Dan Baba terbangun memandang genangan pipis dan sekelebat sosok mungil melaju menuju ruang tamu…
Ayam dan Kuda
Kay punya celengan ayam baru, dibelikan oleh neneknya. Celengan ayam yang baru ini lebih kecil dari yang lama, tapi masih lengkap anggota badannya. Ekornya masih menjulang dengan anggun, dan belum ada tambalan lakban, hingga suatu ketika Kay meletakkan celengan baru itu dengan agak keras dan…jenggernya copot hahaha, selotip beraksi, deh.
Paginya Baba memberikan Kay dua keping koin dua ratus rupiah. “Ini untuk apa Kay?” tanya Baba, “untuk di…?”
“Dinaaaaabung!” jawab Kay, tertawa. “Kotawa,” lanjutnya.
“Siapa yang ketawa?” tanya Baba.
“Lil,” jawabnya, ia selalu menyebut dirinya ‘Lil’.
“Gimana ketawanya?” tanya Baba lagi.
“Hahaha,” jawab Kay.
“Ayo ditabung dulu,” dan Kay pun memasukkan sekeping koin itu ke celengan ayam lama.
“Satu lagi,” ujar Baba.
Kay tampak ragu memasukkan keping terakhir koin itu, ia tidak melepaskan genggamannya bahkan ketika setengah koin itu sudah masuk ke celengan. Kay menarik kembali koin itu, lalu beranjak pergi.
“Mau ke mana?” tanya Baba, “nabung dulu dong.”
Kay berjongkok di dekat celengan ayam barunya dan tanpa ragu-ragu memasukkan koin terakhirnya ke dalam celengan baru itu. Barulah Baba paham bahwa ia membagi dua ‘pendapatannya’ hari itu.
Selain celengan baru, Kay juga punya kuda-kudaan baru. Kuda-kudaan ini berbentuk zebra. Meskipun Kay masih agak takut menaiki kuda baru ini ia sangat senang dengannya.
“Kuda ada dua,” demikian kata Kay.
Tadi pagi Baba membantunya naik kuda itu.
“Sakit,” kata Kay. Baba heran, sakit apanya? pikir Baba, kan ‘pelananya’ sudah dilapis busa oleh Nenek.
“Sakit,” kata Kay lagi. Rupanya Kay duduk terlalu di belakang, sehingga pantatnya persis berada di pinggir ‘pelana’ kayu kuda itu, dan itulah yang menyebabkan rasa sakit.
Setelah Baba membenahi posisi duduknya, Kay dengan nyaman duduk di punggung kuda, tapi ia masih takut mengayunkan badannya. Jadi Kay hanya duduk diam berpegangan pada handel di sisi kanan dan kiri leher kuda-kudaan itu sementara kakinya merangkul kedua kaki depan kuda-kudaan.
Kay kelihatan kikuk sekali meskipun senyum lebarnya terkembang.
Paginya Baba memberikan Kay dua keping koin dua ratus rupiah. “Ini untuk apa Kay?” tanya Baba, “untuk di…?”
“Dinaaaaabung!” jawab Kay, tertawa. “Kotawa,” lanjutnya.
“Siapa yang ketawa?” tanya Baba.
“Lil,” jawabnya, ia selalu menyebut dirinya ‘Lil’.
“Gimana ketawanya?” tanya Baba lagi.
“Hahaha,” jawab Kay.
“Ayo ditabung dulu,” dan Kay pun memasukkan sekeping koin itu ke celengan ayam lama.
“Satu lagi,” ujar Baba.
Kay tampak ragu memasukkan keping terakhir koin itu, ia tidak melepaskan genggamannya bahkan ketika setengah koin itu sudah masuk ke celengan. Kay menarik kembali koin itu, lalu beranjak pergi.
“Mau ke mana?” tanya Baba, “nabung dulu dong.”
Kay berjongkok di dekat celengan ayam barunya dan tanpa ragu-ragu memasukkan koin terakhirnya ke dalam celengan baru itu. Barulah Baba paham bahwa ia membagi dua ‘pendapatannya’ hari itu.
Selain celengan baru, Kay juga punya kuda-kudaan baru. Kuda-kudaan ini berbentuk zebra. Meskipun Kay masih agak takut menaiki kuda baru ini ia sangat senang dengannya.
“Kuda ada dua,” demikian kata Kay.
Tadi pagi Baba membantunya naik kuda itu.
“Sakit,” kata Kay. Baba heran, sakit apanya? pikir Baba, kan ‘pelananya’ sudah dilapis busa oleh Nenek.
“Sakit,” kata Kay lagi. Rupanya Kay duduk terlalu di belakang, sehingga pantatnya persis berada di pinggir ‘pelana’ kayu kuda itu, dan itulah yang menyebabkan rasa sakit.
Setelah Baba membenahi posisi duduknya, Kay dengan nyaman duduk di punggung kuda, tapi ia masih takut mengayunkan badannya. Jadi Kay hanya duduk diam berpegangan pada handel di sisi kanan dan kiri leher kuda-kudaan itu sementara kakinya merangkul kedua kaki depan kuda-kudaan.
Kay kelihatan kikuk sekali meskipun senyum lebarnya terkembang.
Sep 15, 2006
Reflek Menabung
“Bi, ini untuk beli Baygon dan belanja,” Kata Baba sambil memberi selembar limapuluh ribuan padanya. Kay beringsut maju mendekat dan melongok ke tangan Bibi, lalu mengambil uang kertas tersebut. Ia langsung melipat, melipat dan menggulung-gulung lembaran itu dengan serius.
“Kasih ke Bibi,” perintah Baba yang, tentu saja, tidak dituruti.
“Ayo, kasih Bibi,” ulang Baba sambil setengah memaksa memutar badan Kay menghadap Bibi. Kay hanya menyentuhkan uang tersebut sepersekian detik di telapak Bibi sebelum cepat-cepat menariknya kembali. Lalu Kay memutar badan dan berjalan tergopoh gopoh ke kamar.
“Bi,” kata Baba yang mafhum apa yang akan terjadi, “cepetan tangkep sebelum uangnya dimasukin ke celengan ayam.”
Bibi pun segera mengejar Kay ke kamar dan membujuknya untuk mengembalikan uang itu.
“Jangan dimasukin, nanti susah ngeluarinnya,” pinta Bibi yang, tentu saja, tidak diindahkan. But Bibi still have some tricks up her sleeves.
“Sini Bibi masukin. Nah, udah ya. Udah masuk tuh,” kata Bibi, padahal uang itu ada dalam genggamannya.
Hehehe…dasar anak kecil…masih bisa diakalin. Tapi Baba senang karena Kay sekarang kalau mendapat uang tidak lagi dibuang ke tempat sampah…
“Kasih ke Bibi,” perintah Baba yang, tentu saja, tidak dituruti.
“Ayo, kasih Bibi,” ulang Baba sambil setengah memaksa memutar badan Kay menghadap Bibi. Kay hanya menyentuhkan uang tersebut sepersekian detik di telapak Bibi sebelum cepat-cepat menariknya kembali. Lalu Kay memutar badan dan berjalan tergopoh gopoh ke kamar.
“Bi,” kata Baba yang mafhum apa yang akan terjadi, “cepetan tangkep sebelum uangnya dimasukin ke celengan ayam.”
Bibi pun segera mengejar Kay ke kamar dan membujuknya untuk mengembalikan uang itu.
“Jangan dimasukin, nanti susah ngeluarinnya,” pinta Bibi yang, tentu saja, tidak diindahkan. But Bibi still have some tricks up her sleeves.
“Sini Bibi masukin. Nah, udah ya. Udah masuk tuh,” kata Bibi, padahal uang itu ada dalam genggamannya.
Hehehe…dasar anak kecil…masih bisa diakalin. Tapi Baba senang karena Kay sekarang kalau mendapat uang tidak lagi dibuang ke tempat sampah…
Sep 14, 2006
Pertanyaan yang Tak Terjawab
“Kay kesayangan siapa?”
“Duuh….” tangannya meraih leher Baba dan memeluk.
“Kay kesayangan siapa?” tanya Baba lagi.
“Duuh…” pelukannya makin kencang.
“Kay kesayangan siapa?” ulang Baba untuk yang ketiga kalinya.
“Duuh…” kali ini leher Baba dipeluk dengan dua tangan.
“Kay anak siapa?”
“Anak Mama,” jawab Kay.
“Duuh….” tangannya meraih leher Baba dan memeluk.
“Kay kesayangan siapa?” tanya Baba lagi.
“Duuh…” pelukannya makin kencang.
“Kay kesayangan siapa?” ulang Baba untuk yang ketiga kalinya.
“Duuh…” kali ini leher Baba dipeluk dengan dua tangan.
“Kay anak siapa?”
“Anak Mama,” jawab Kay.
Versions
Versi Normal:
“Mama,”
“Di mana Mama?”
“Hwedia,”
“Ngapain Mama di Swedia?”
“Hokolah.”
Versi Echo:
Kay, sehabis mandi, masih telanjang bulat, melompat-lompat di atas tempat tidur, dipegangi Teteh Iis.
“Mamamama!”
“Di mana Mama?”
“Hwediawedia!”
“Ngapain Mama di Swedia?”
“Hokolahokolah!”
Versi Rocker:
“Mama!” geram Kay.
“Di mana Mama?” geram Baba bertanya.
“Hwedia!” jawab Kay dengan geraman.
“Ngapain Mama di Swedia?” tanya Baba lagi, masih dengan geraman.
“Hokolah!” geram Kay menjawab.
“Mama,”
“Di mana Mama?”
“Hwedia,”
“Ngapain Mama di Swedia?”
“Hokolah.”
Versi Echo:
Kay, sehabis mandi, masih telanjang bulat, melompat-lompat di atas tempat tidur, dipegangi Teteh Iis.
“Mamamama!”
“Di mana Mama?”
“Hwediawedia!”
“Ngapain Mama di Swedia?”
“Hokolahokolah!”
Versi Rocker:
“Mama!” geram Kay.
“Di mana Mama?” geram Baba bertanya.
“Hwedia!” jawab Kay dengan geraman.
“Ngapain Mama di Swedia?” tanya Baba lagi, masih dengan geraman.
“Hokolah!” geram Kay menjawab.
Sep 13, 2006
Kangen Mama
Kemarin Kakek menurunkan foto Mama Kay yang tergantung di dinding di atas meja makan untuk membersihkannya dari debu.
Kay melihat, lalu menghampiri Kakek.
"Mama," tunjuk Kay.
Kay mendekat lagi, menyentuh wajah Mama.
Lalu Kay memeluk foto berbingkai itu, "Duuh..." katanya...
Kay melihat, lalu menghampiri Kakek.
"Mama," tunjuk Kay.
Kay mendekat lagi, menyentuh wajah Mama.
Lalu Kay memeluk foto berbingkai itu, "Duuh..." katanya...
Anatomy Lesson
“Nabung dulu yuk!” kata Baba sambil memberikan sekeping koin lima ratus pada Kay. “Masukin ke celengan ayam besar ya,” lanjut Baba.
“Nabung!” ujar Kay. Ia meraih koin itu dari tangan Baba dan memasukkannya ke dalam celengan, lalu ia bertepuk tangan, “Holeeee!” soraknya.
“Kayril,” panggil Baba sambil memegang celengan itu, “Ini apa?”
“Jambul,” jawabnya.
“Ini apa?” tanya Baba lagi sambil memegang bagian yang lain.
Kay diam, ia tampak bingung.
“Ini jengger,” kata Baba menjelaskan.
“Jenggel,” ulang Kay.
“Ini apa yang warnanya kuning?”
“Patuk,”
“Kalo yang ini?”
“Mata,”
“Ini apanya ya?” tanya Baba sambil mengusap sisi-sisi celengan tersebut.
“Sayap,”
“Kalo ini?”
“Ekol,”
“Yang di bawah ini apa?”
“Kaki,”
“Pintar. Sekarang kepala Kay mana?”
“Kepaalaa,” jawabnya sambil memegang kepala.
“Leher?”
“Leeehelll,” ditunjuknya leher pendek itu.
“Dagu?”
“Daaagu,” tunjuknya.
“Bibir?”
“Biiiibil,” katanya agak kesulitan karena ia memegang bibirnya.
Kemudian Baba lanjutkan dengan mata, alis, hidung, jidat, kuping, perut, dada, punggung dan kaki. Kay bisa mengenali seluruh bagian tubuh itu dengan tepat.
“Kalo jempol mana?” uji Baba.
“Jempol,” jawab Kay sambil memegang telunjuk.
“Itu telunjuk, Nak,” Baba tersenyum. “Kuku mana?” tanya Baba.
“Kuuuuuku,” dipegangnya kuku telunjuk itu, “Iiiiiis, potong kuku!” tambahnya.
“Nabung!” ujar Kay. Ia meraih koin itu dari tangan Baba dan memasukkannya ke dalam celengan, lalu ia bertepuk tangan, “Holeeee!” soraknya.
“Kayril,” panggil Baba sambil memegang celengan itu, “Ini apa?”
“Jambul,” jawabnya.
“Ini apa?” tanya Baba lagi sambil memegang bagian yang lain.
Kay diam, ia tampak bingung.
“Ini jengger,” kata Baba menjelaskan.
“Jenggel,” ulang Kay.
“Ini apa yang warnanya kuning?”
“Patuk,”
“Kalo yang ini?”
“Mata,”
“Ini apanya ya?” tanya Baba sambil mengusap sisi-sisi celengan tersebut.
“Sayap,”
“Kalo ini?”
“Ekol,”
“Yang di bawah ini apa?”
“Kaki,”
“Pintar. Sekarang kepala Kay mana?”
“Kepaalaa,” jawabnya sambil memegang kepala.
“Leher?”
“Leeehelll,” ditunjuknya leher pendek itu.
“Dagu?”
“Daaagu,” tunjuknya.
“Bibir?”
“Biiiibil,” katanya agak kesulitan karena ia memegang bibirnya.
Kemudian Baba lanjutkan dengan mata, alis, hidung, jidat, kuping, perut, dada, punggung dan kaki. Kay bisa mengenali seluruh bagian tubuh itu dengan tepat.
“Kalo jempol mana?” uji Baba.
“Jempol,” jawab Kay sambil memegang telunjuk.
“Itu telunjuk, Nak,” Baba tersenyum. “Kuku mana?” tanya Baba.
“Kuuuuuku,” dipegangnya kuku telunjuk itu, “Iiiiiis, potong kuku!” tambahnya.
Sep 11, 2006
Kincir angin -- Gembira -- More 'Duuh...Laah...'
Bangun pagi Kay langsung mengenail mainan baru di kotak mainannya: sebuah kincir angin warna-warni. Kincir itu langsung diambil dan diteliti.
“Itu kincir angin dari Tante Mandy,” kata Baba. “Gini cara mainnya,” Baba mencontohkan Kay cara bermain kincir angin dengan mengayunkannya ke depan dan ke belakang. Kincir itu berputar kencang.
Lalu Kay mengambil kincir itu dari tangan Baba dan memutar helai-helai kincir dengan tangan kanannya. Baba tersenyum melihat Kay sudah bisa mengkoordinasikan tangan kanan dan kirinya dengan cukup baik.
Kemarin Kay bermain air bersama Kakek yang sedang menyirami tanaman. Ia senang sekali. Selang air dipegang dan jari-jari mungilnya menutup mulut selang itu sehingga air terpancar ke segala arah, termasuk ke mukanya sendiri. Kay tertawa tergelak-gelak.
Baba belum pernah melihat Kay segembira itu. Bahkan dalam tidur siangnya Kay masih tertawa-tawa dan tersenyum. Mungkin ia mimpi main air.
Tapi, yah, seperti biasa Kay tidak mau berhenti main air, sehingga waktu airnya dihentikan Kay menangis. Nggak apa-apa nak, nggak semuanya bisa Kay dapatkan and all good things have to end sometime.
Ada satu hal yang Baba perhatikan dari Kay akhir-akhir ini. Ia makin manja dan sudah mulai banyak alasan bila diminta melakukan sesuatu. Well, nggak banyak sih alasannya, hanya saja bila Baba meminta Kay melakukan sesuatu—berdoa, menjawab pertanyaan, mengambilkan sesuatu—biasanya dia akan melakukan setengahnya, bila berdoa hanya sampai ‘bismillah’, menjawab pertanyaan hanya satu suku kata (ditanya ‘Baba mau ke mana?’ jawabnya hanya ‘ke kaaan—’), selebihnya dia akan memeluk Baba sambil berkata manja: “Duuh…Laah…”
hmmh...benar-benar makin banyak akalnya...
“Itu kincir angin dari Tante Mandy,” kata Baba. “Gini cara mainnya,” Baba mencontohkan Kay cara bermain kincir angin dengan mengayunkannya ke depan dan ke belakang. Kincir itu berputar kencang.
Lalu Kay mengambil kincir itu dari tangan Baba dan memutar helai-helai kincir dengan tangan kanannya. Baba tersenyum melihat Kay sudah bisa mengkoordinasikan tangan kanan dan kirinya dengan cukup baik.
Kemarin Kay bermain air bersama Kakek yang sedang menyirami tanaman. Ia senang sekali. Selang air dipegang dan jari-jari mungilnya menutup mulut selang itu sehingga air terpancar ke segala arah, termasuk ke mukanya sendiri. Kay tertawa tergelak-gelak.
Baba belum pernah melihat Kay segembira itu. Bahkan dalam tidur siangnya Kay masih tertawa-tawa dan tersenyum. Mungkin ia mimpi main air.
Tapi, yah, seperti biasa Kay tidak mau berhenti main air, sehingga waktu airnya dihentikan Kay menangis. Nggak apa-apa nak, nggak semuanya bisa Kay dapatkan and all good things have to end sometime.
Ada satu hal yang Baba perhatikan dari Kay akhir-akhir ini. Ia makin manja dan sudah mulai banyak alasan bila diminta melakukan sesuatu. Well, nggak banyak sih alasannya, hanya saja bila Baba meminta Kay melakukan sesuatu—berdoa, menjawab pertanyaan, mengambilkan sesuatu—biasanya dia akan melakukan setengahnya, bila berdoa hanya sampai ‘bismillah’, menjawab pertanyaan hanya satu suku kata (ditanya ‘Baba mau ke mana?’ jawabnya hanya ‘ke kaaan—’), selebihnya dia akan memeluk Baba sambil berkata manja: “Duuh…Laah…”
hmmh...benar-benar makin banyak akalnya...
Sep 7, 2006
Banyak akal -- Ngeloni -- "Empat tahun"
Kay sudah mulai bisa beraktifitas menggunakan kedua sisi tubuhnya.
Demikian laporan terapis Kay kemarin. Ia kemarin belajar menggunting dan menempel. Meskipun dalam menempel dia masih dibantu oleh terapis dalam menggunting ia sudah menunjukkan kemajuan.
Di kelas Ibu Rissa Kay mulai menunjukkan kenakalannya, ia mulai suka menolak melakukan perintah-perintah yang diberikan oleh Ibu Rissa dan banyak menangis.
“Nangisnya karena kolokan,” kata Teteh Iis, “Kay suka mencolok mata sendiri supaya air matanya keluar.”
Hmm…sudah mulai banyak akalnya anak ini…
Malamnya Kay gembira karena Baba pulang sebelum dia tidur, dan Baba membawa mainan untuknya. Sayangnya kedua mainan itu dijadikan alasan untuk menunda waktu tidurnya.
Kay semalam begitu manja pada Baba, ia menolak tidur dikeloni nenek.
“Tulun,” katanya sambil beringsut dari tempat tidur, “bukain pintu.”
Akhirnya Baba terpaksa mengenakan handuk di sekeliling mulut Baba untuk mencegah Kay tertular influenza yang sedang Baba idap.
Kay tampaknya penasaran dengan handuk di muka Baba. Ia selalu berusaha untuk membukanya dan berkali-kali Kay berkata: “Baba!” seolah meyakinkan dirinya sendiri bahwa yang tidur bersamanya adalah memang Baba yang biasa ngeloni dia…
Paginya Kay agak susah disuruh mandi untuk bersiap ke sekolah, dia asyik bermanja-manja dengan Bude Tati, tetangga sebelah.
Kalau ditanya sudah berapa lama nggak ketemu Bude, Kay akan menjawab “Empat tahun.”
Akhirnya Kay dibujuk naik jerapah sementara Bude Tati menyelinap keluar rumah.
Demikian laporan terapis Kay kemarin. Ia kemarin belajar menggunting dan menempel. Meskipun dalam menempel dia masih dibantu oleh terapis dalam menggunting ia sudah menunjukkan kemajuan.
Di kelas Ibu Rissa Kay mulai menunjukkan kenakalannya, ia mulai suka menolak melakukan perintah-perintah yang diberikan oleh Ibu Rissa dan banyak menangis.
“Nangisnya karena kolokan,” kata Teteh Iis, “Kay suka mencolok mata sendiri supaya air matanya keluar.”
Hmm…sudah mulai banyak akalnya anak ini…
Malamnya Kay gembira karena Baba pulang sebelum dia tidur, dan Baba membawa mainan untuknya. Sayangnya kedua mainan itu dijadikan alasan untuk menunda waktu tidurnya.
Kay semalam begitu manja pada Baba, ia menolak tidur dikeloni nenek.
“Tulun,” katanya sambil beringsut dari tempat tidur, “bukain pintu.”
Akhirnya Baba terpaksa mengenakan handuk di sekeliling mulut Baba untuk mencegah Kay tertular influenza yang sedang Baba idap.
Kay tampaknya penasaran dengan handuk di muka Baba. Ia selalu berusaha untuk membukanya dan berkali-kali Kay berkata: “Baba!” seolah meyakinkan dirinya sendiri bahwa yang tidur bersamanya adalah memang Baba yang biasa ngeloni dia…
Paginya Kay agak susah disuruh mandi untuk bersiap ke sekolah, dia asyik bermanja-manja dengan Bude Tati, tetangga sebelah.
Kalau ditanya sudah berapa lama nggak ketemu Bude, Kay akan menjawab “Empat tahun.”
Akhirnya Kay dibujuk naik jerapah sementara Bude Tati menyelinap keluar rumah.
Sep 5, 2006
Suatu Pagi Bersama Kay
Alarm berbunyi.
Jam setengah enam, pikirku. Aku bangun, mematikan alarm, mematikan AC dan bersiap untuk kembali tidur.
Lima menit kemudian, seorang bocah cilik berujar tidak jelas, membangunkanku, merangkak melintasi tubuhku dan turun dari tempat tidur sambil bersenandung. Entah apa yang disenandungkan.
Ia membuka pintu dan berjalan terhuyung-huyung keluar kamar. Di hadapan kotak mainannya ia jongkok dan mulai memilih-milih dan memilah-milah mainan yang hendak dimainkan.
Aku keluar kamar, mengambil segelas air dan meminumkannya pada Kay. Seperti biasa, dia hanya minum seteguk. Sisanya aku yang menghabiskan.
Kay tepekur di hadapan mainannya.
“Tcali kupu-kupu,” katanya tiba-tiba.
Kupu-kupu yang dimaksud adalah sebuah windchime dengan kupu-kupu plastik tergantung di atasnya. Kupu-kupu itu didesain sedemikian sehingga seolah terbuat dari kaca patri. Warnanya ungu dan biru. Kay sangat suka dengan kupu-kupunya itu. Bahkan ia semalam tidur sambil menggenggam sang kupu-kupu.
Kay beranjak bangun.
“Di mana kupu-kupunya?” tanya Kay.
“Di sana, tuh.” Jawabku, menunjuk laci yang ada di kaki tempat tidur. Semalam aku meletakkan kupu-kupu itu di atas laci itu, persis di depan tape compo.
Kay kembali masuk ke kamar, celingukan.
“Itu di sana, di atas meja,” kataku.
Kay masih celingukan dan bergerak keluar kamar, agaknya akan mencari meja di ruang tamu.
“Bukan di luar,” kataku, “itu di depan tape.”
Ia menoleh dan mendekat ke tape compo dan melihat si kupu-kupu tergeletak, meraihnya dan memegang gantungannya. Ia sangat suka memandang benda yang tergantung.
Kay tersenyum puas.
Beberapa menit kemudian si kupu-kupu tergeletak di lantai. Kay sedang mengosongkan keranjang mainannya dan, setelah keranjang itu kosong, ia masuk dan duduk di dalamnya bersama dengan sebuah piring plastik berbentuk ice cream cone.
“Apa ini?” tanyaku.
“Es klim.”
“Kay mau es krim?”
Dia diam.
“Ayo mamam.”
“Ammm,” ucapnya sambil memasukkan salah satu sisi piring berbentuk es krim itu ke dalam mulut kecilnya.
“Mamam. Lapal,” katanya. “Mmmm enaaaak!” tambahnya.
Kemudian Bibi datang membawa semangkuk havermout, dan dalam sekejap Kay menghabiskannya, padahal dia baru saja menghabiskan segelas susu cokelat…
Jam setengah enam, pikirku. Aku bangun, mematikan alarm, mematikan AC dan bersiap untuk kembali tidur.
Lima menit kemudian, seorang bocah cilik berujar tidak jelas, membangunkanku, merangkak melintasi tubuhku dan turun dari tempat tidur sambil bersenandung. Entah apa yang disenandungkan.
Ia membuka pintu dan berjalan terhuyung-huyung keluar kamar. Di hadapan kotak mainannya ia jongkok dan mulai memilih-milih dan memilah-milah mainan yang hendak dimainkan.
Aku keluar kamar, mengambil segelas air dan meminumkannya pada Kay. Seperti biasa, dia hanya minum seteguk. Sisanya aku yang menghabiskan.
Kay tepekur di hadapan mainannya.
“Tcali kupu-kupu,” katanya tiba-tiba.
Kupu-kupu yang dimaksud adalah sebuah windchime dengan kupu-kupu plastik tergantung di atasnya. Kupu-kupu itu didesain sedemikian sehingga seolah terbuat dari kaca patri. Warnanya ungu dan biru. Kay sangat suka dengan kupu-kupunya itu. Bahkan ia semalam tidur sambil menggenggam sang kupu-kupu.
Kay beranjak bangun.
“Di mana kupu-kupunya?” tanya Kay.
“Di sana, tuh.” Jawabku, menunjuk laci yang ada di kaki tempat tidur. Semalam aku meletakkan kupu-kupu itu di atas laci itu, persis di depan tape compo.
Kay kembali masuk ke kamar, celingukan.
“Itu di sana, di atas meja,” kataku.
Kay masih celingukan dan bergerak keluar kamar, agaknya akan mencari meja di ruang tamu.
“Bukan di luar,” kataku, “itu di depan tape.”
Ia menoleh dan mendekat ke tape compo dan melihat si kupu-kupu tergeletak, meraihnya dan memegang gantungannya. Ia sangat suka memandang benda yang tergantung.
Kay tersenyum puas.
Beberapa menit kemudian si kupu-kupu tergeletak di lantai. Kay sedang mengosongkan keranjang mainannya dan, setelah keranjang itu kosong, ia masuk dan duduk di dalamnya bersama dengan sebuah piring plastik berbentuk ice cream cone.
“Apa ini?” tanyaku.
“Es klim.”
“Kay mau es krim?”
Dia diam.
“Ayo mamam.”
“Ammm,” ucapnya sambil memasukkan salah satu sisi piring berbentuk es krim itu ke dalam mulut kecilnya.
“Mamam. Lapal,” katanya. “Mmmm enaaaak!” tambahnya.
Kemudian Bibi datang membawa semangkuk havermout, dan dalam sekejap Kay menghabiskannya, padahal dia baru saja menghabiskan segelas susu cokelat…
Nabung--"Hokolah"--doa
Semalam waktu Baba buka pintu gerbang, dari dalam rumah terdengar suara teriakan gembira seorang anak lelaki berusia tiga tahun.
Kay menyambut Baba dengan gegap gempita ketika Baba masuk ke dalam rumah. Seperti biasa dia langsung memeluk kedua kaki Baba.
Baba merogoh kantung dan mengeluarkan koin seratus rupiah, “Apa ini Kay?” tanya Baba.
“Uwang.” Jawabnya.
“Untuk apa?” tanya Baba lagi.
“Naaaaabung!” katanya.
Baba ambil celengan ayam dan dengan senyum lebar Kay memasukkan koin kecil itu ke dalam celengan.
“Baba!” katanya menunjuk Baba.
“Mama!” katanya menunjuk udara kosong.
“Mama di mana?” tanya Baba.
“Hwedia.”
“Ngapain Mama di Swedia?”
“Hokolah!” Jawab Kay. “Bobo yuk!”
“Baba mamam dulu ya,” dan Kay menunggu Baba mamam dengan sabar sambil sesekali meletakkan kepalanya di paha Baba.
Setelah selesai makan, Baba dituntun Kay masuk ke kamar. Ia naik ke tempat tidur, berdoa—doa tidur dan doa untuk orang tua.
Lalu Kay bobo.
Kay menyambut Baba dengan gegap gempita ketika Baba masuk ke dalam rumah. Seperti biasa dia langsung memeluk kedua kaki Baba.
Baba merogoh kantung dan mengeluarkan koin seratus rupiah, “Apa ini Kay?” tanya Baba.
“Uwang.” Jawabnya.
“Untuk apa?” tanya Baba lagi.
“Naaaaabung!” katanya.
Baba ambil celengan ayam dan dengan senyum lebar Kay memasukkan koin kecil itu ke dalam celengan.
“Baba!” katanya menunjuk Baba.
“Mama!” katanya menunjuk udara kosong.
“Mama di mana?” tanya Baba.
“Hwedia.”
“Ngapain Mama di Swedia?”
“Hokolah!” Jawab Kay. “Bobo yuk!”
“Baba mamam dulu ya,” dan Kay menunggu Baba mamam dengan sabar sambil sesekali meletakkan kepalanya di paha Baba.
Setelah selesai makan, Baba dituntun Kay masuk ke kamar. Ia naik ke tempat tidur, berdoa—doa tidur dan doa untuk orang tua.
Lalu Kay bobo.
Subscribe to:
Posts (Atom)