It has been a very tiresome and taxing week for me that I barely found time to update My Day with Kay. Kay had been ill, and juggling my physical and psychological strength between tending Kay’s illness, my work and the beginning of Ramadhan really put me to the test.
In the following entry I will try to enlighten you, Gentles, by recounting what had happened as minutely as my memory permits.
Sabtu, 23 September 2006:
Baba terbangun dini hari (sekitar pukul satu pagi) dan mendapatkan suhu badan Kay meninggi.
Sore harinya Baba dan Nenek (plus Teteh Iis tentunya) berangkat ke rumah sakit. Diagnosa dokter pada saat itu adalah Kay terkena serangan batuk pilek atau istilah kerennya, infeksi viral pada saluran pernapasan atas. Memang selama seminggu Kay sudah batuk-batuk dan baru saja menghabiskan obat batuk dari dokter sebelumnya.
Karena pada saat di dokter Kay demam tinggi (390 C) ia diberikan obat penurun panas melalui anusnya.
Sesampainya di rumah, panas Kay menurun.
Kay dikunjungi Paman, Bibi dan sepupunya dari Medan. Ia senang sekali dengan Kakak Ika-nya yang tak henti-hentinya dipeluk dan dielus rambutnya.
Kay tertidur di sebelah Kakak Ika sambil ditepuk-tepuk oleh Bibi Butet.
Minggu, 24 September 2006:
Suhu badan Kay naik turun, dan obat panas dari dokter tidak memberikan efek yang memuaskan.
Sorenya Uwa Imel dan Uwa Sonny datang bersama Andung dan Bang Reyhan. Mereka menganjurkan agar memberikan obat panas dokter dan Tempra secara berselang setiap 4 jam sekali.
Kay dengan manjanya memeluk Uwa Imel erat-erat.
Senin, 25 September 2006:
Menjelang sahur suhu tubuh Kay kembali naik. Telinganya memerah dan ia meminimalisir kegiatannya.
Meskipun demikian, setelah obat penurun panas beraksi membuat suhunya turun, Kay tidak mau istirahat. Ia langsung berlari-larian dan berlompat-lompatan dan nggak mau diam sampai suhunya naik lagi.
Sorenya kami ke dokter di Bintaro. Di klinik Kay dikunjungi Engkong, tapi Kay sama sekali tidak mau lepas dari gendongan Baba. Bahkan Baba tidak diijinkan Kay untuk duduk. Manja sekali…
Dokter mengatakan obat yang diberikan diteruskan saja, dan bila besok sore suhunya masih belum turun Kay harus tes darah, karena kuatir serangan demam berdarah.
Malamnya Baba nyaris tidak tidur meskipun Kay tidak demam lagi.
Selasa, 26 September 2006:
Paginya Kay membaik, ia sudah mulai mau bermain-main dan makan cukup banyak.
Dari kantor Baba telepon dan kata Teteh Iis dia sudah mulai berkeringat, suatu pertanda baik.
Sorenya Kay demam lagi, Baba segera pulang dan membawa Kay ke laboratorium rumah sakit Bintaro setelah berbuka puasa. Hasil tes darah segera Baba laporkan pada dokter yang memang praktik di sana hari itu. Menurut dokter jumlah trombositnya masih baik, tapi kalau dalam dua hari ke depan masih demam, harus tes darah lagi.
Rabu, 27 September 2006:
Baba di kantor hanya setengah hari karena Nenek melaporkan Kay demam lagi dan lemas, seharian ini ia hampir tidak turun dari gendongan atau tempat tidur dan hampir selalu tidur, nyaris tidak mau makan apa-apa.
Sorenya kami kembali ke dokter yang kaget karena Kay lemas sekali, padahal biasanya berontak kalau diperiksa olehnya. Dokter menganjurkan untuk melakukan tes darah lagi.
Seperti biasa anak pemberani ini tidak menitikkan sebutir air mata saat jarum menembus kulit jarinya.
Hasil tes darah kurang memuaskan, karena trombosit Kay turun. Dokter tampak khawatir dan menganjurkan untuk tes darah lagi keesokan paginya.
“Kalau ada kecenderungan turun, berarti dia harus dirawat ya,” demikian kata dokter. “Berikan saja dia minum yang banyak, karena kelihatan di sini kekentalan darahnya cukup tinggi,” tambahnya.
“Ruamnya gimana Dok?” tanya Baba khawatir.
“Bukan, ini bukan ruam demam berdarah. Ruam demam berdarah itu seperti ujung jarum, ini terlalu besar. Tapi tetap saja kita harus hati-hati,” jelas dokter.
Setelah dari dokter kami menyempatkan diri ke acara tujuh bulan kehamilan Bibi Ois. Kay segera meminta gendong Bibi Ois begitu ia melihat bibinya itu. Kay bobo dikeloni Bibi Ois.
Malamnya setiap jam Baba membangunkan Kay dan memberinya minum air dan Pocari Sweat. Kay minum cukup banyak, antara jam 22:00 hingga sahur Kay menghabiskan lebih dari 2 gelas air dan ¾ kaleng Pocari Sweat.
Kamis, 28 September 2006:
Sekitar jam 08:30 Kay tes darah lagi. Saat hasilnya keluar, Baba mengatakan ke suster bahwa dokter minta segera diberi tahu akan hasil tes darah itu.
Sementara menunggu pihak rumah sakit menghubungi dokter Kay mengamuk. Ia tidak mau berada dalam gedung rumah sakit.
“Buka-buka, ya…” katanya di hadapan pintu otomatis rumah sakit. “Ke hitu…” jawabnya ketika ditanya mau ke mana. Terpaksa Baba menggendong Kay keluar rumah sakit dan berdiri menunggu di pinggir jalan. Selangkah saja Baba mengarah ke dalam rumah sakit, maka Kay akan menangis dan menyentakkan tubuhnya ke arah berlawanan.
Akhirnya Baba berhasil membujuk Kay masuk rumah sakit bertepatan dengan berhasilnya pihak rumah sakit menghubungi dokter.
“Hasilnya masih bagus, ya,” kata dokter.
“Tapi kan trombositnya turun lagi dok, sekarang ke angka 150,” bantah Baba.
“Iya, tapi itu nggak apa-apa, lekositnya sudah naik ke batas normal dan pengentalan darahnya mengurang,” jelas dokter, “jadi nggak perlu dirawat,” tambahnya.
Saat itu sebuah beban berat terangkat dari pundak Baba dan Baba memutuskan untuk tidak masuk kantor hari itu untuk menjaga Kay.
“Kalau sore panas, besok pagi tes darah lagi ya,” kata dokter menutup pembicaraan.
Sesampainya di rumah Kay menghabiskan sebutir alpukat dan tidur selama 3 jam. Bangun dari tidurnya ia sudah mulai mau makan meskipun sedikit.
Ruam merah di sekujur tubuh Kay masih tetap membuat Baba dan Nenek khawatir. Baba menelepon Bude untuk menanyakan ciri-ciri ruam demam berdarah dan Bude menjelaskan bahwa ruam demam berdarah itu berwarna merah terang, bukan merah muda seperti gigitan nyamuk.
Nenek memanggil tetangga yang mengkonfirmasikan bahwa ruam di sekujur tubuh Kay adalah ruam tampek.
Sorenya Kay menghabiskan dua piring kecil penuh bubur nasi.
Sepanjang malam, meskipun Baba masih waswas dan memberikan Kay Pocari Sweat setiap dua jam sekali, tanda-tanda demam akan menyerang sudah tidak ada sama sekali. Kay mulai terlihat aktif bermain di tempat tidur sebelum bobo. Kay bahkan tertidur bermandikan keringat…
Hari ini:
Kay terbangun saat sahur dan Nenek memberikan dia bubur nasi yang ia habiskan sebanyak 1½ piring kecil, kemudian ia bobo lagi.
Paginya, meskipun masih sempoyongan ia mulai menjelajah dan mengikuti Baba ke manapun Baba pergi, sambil memegang gantungan kunci Hush Puppies kesukaannya.
Sebelum Baba berangkat ke kantor Kay sudah menghabiskan sepiring kecil bubur nasi, dan segelas air madu.
Di kantor Baba menelepon rumah dan Nenek menjelaskan bahwa Kay baru saja tertidur setelah menghabiskan satu buah alpukat kesukaannya. Ia tidur dikeloni Engki yang selama beberapa hari ini selalu ia hindari…
Gentles, words cannot express the anxiety and fear that gripped me during the days described above. And I will always be indebted to all people who helped me (and help me still) during the hard days: Bibi Eni who treated Kay as her own son; Teteh Iis who barely had time to rest preparing everything for the multiple trips to the doctor and hospital; Nenek and Engki, for their enduring patient and calmness during my bouts of worries; Doctors B and H; and last but by no means least: Mama, for her trust, her unwavering confident and her unsurpassable support in me, although I know that these last few days must’ve been hellish for her also. Thank you all.
Sep 29, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment